Samarinda, Natmed.id – Para pedagang di Pasar Subuh Samarinda menolak rencana relokasi ke Pasar Beluluq Lingau di Jalan PM Noor. Mereka menilai, rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda ini bersifat sepihak dan akan merugikan pedagang. Sebab, pemindahan itu dinilai bakal berdampak pada penurunan omzet yang didapat.

Penolakan semakin santer seiring dengan beredarnya informasi yang menyatakan tentang rencana alih fungsi Pasar Subuh menjadi Pecinaan atau Chinatown. Nantinya, setiap pedagang yang direlokasi mendapatkan biaya kompensasi dari pemkot sebanyak Rp500 ribu.
Informasi itu membuat pihak pedagang yang menolak relokasi semakin naik darah. Mereka bersiaga di sekitar area pasar untuk mengantisipasi pengosongan kawasan tersebut secara paksa oleh aparat keamanan.
“Kami dari tadi malam (Sabtu malam, 3 Mei 2025) sudah membuat pos jaga untuk mengantisipasi adanya tindakan sewenang-wenang dari pemkot melalui aparatur negara,” kata Fatih perwakilan pedagang Pasar Subuh dalam konferensi pers, Minggu, 4 Mei 2025.
Menurutnya, selain pedagagang, eleman lain juga turut menolak rencana relokasi Pasar Subuh. Mereka adalah para juru parkir, buruh angkut, dan pihak lain yang selama ini menggantungkan hidup di pasar tersebut.
“Semua menolak adanya relokasi. Kami akan tetap berjualan dan bertahan,” tegasnya sembari menyebut jumlah pedagang yang beraktivitas di Pasar Subuh mencapai 57 orang.
Lebih lanjut, Fatih menjelaskan alasan penolakan oleh para pedagang. Ia mengungkapkan, tanah yang saat ini digunakan untuk berjualan merupakan lahan milik pribadi yang disewa para pedagang.
Sebagian di antara mereka, sudah menempati lokasi tersebut secara turun-temurun sejak 1976 atau hampir 50 tahun.
“Pasar Subuh sudah eksis di lokasi ini sejak 1976. Banyak pedagang yang sudah dua generasi di sini,” katanya.
Terkait alasan relokasi, Fatih menyebut hal tersebut bermula dari selesainya pembangunan Pasar Beluluq Lingau pada 2023. Kala itu, Dinas Perdagangan pernah menyampaikan rencana pemindahan pedagang. Namun, komunikasi yang dijalankan dinilai sepihak dan tidak menghasilkan kesepakatan resmi.
“Tidak pernah ada dokumen resmi yang menyatakan pedagang menyetujui relokasi. Yang ditandatangani waktu itu hanya daftar hadir, bukan surat persetujuan,” jelasnya.
Yeni, pedagang lain di Pasar Subuh juga menyuarakan penolakan. Ia mengatakan bahwa keluarganya sudah berjualan di Pasar Subuh sejak ayahnya dan kini diteruskan oleh generasi kedua.
Yeni menilai, rencana pemindahan ke lokasi baru sangat tidak adil. Apalagi, mereka juga disebut menempati lahan di Pasar Subuh secara ilegal.
“Kami bukan pedagang liar. Kami punya kartu dari pemkot, bayar retribusi, bahkan sampai bisa kuliahkan anak dari hasil jualan di sini,” tuturnya.
Yeni mengungkapkan, retribusi yang dibayar pun tidak sedikit, yakni sekitar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per tiga bulan. Nominal retribusi itu tergantung jenis dagangan.
Menurutnya, bila pemerintah memaksakan relokasi tanpa mempertimbangan keadilan, maka hal itu mencerminkan sikap yang egois dan abai terhadap rakyat kecil.
Penolakan pedagang juga didukung oleh kelompok yang menamakan diri Solidaritas untuk Pasar Subuh. Kelompok ini terdiri dari paguyuban pedagang, mahasiswa, LSM, dan LBH Samarinda.
Mereka menyatakan siap mengawal perjuangan pedagang menghadapi kemungkinan penggusuran.
Para pedagang merasa tindakan ini dapat merugian ekonomi maupun sosial yang harus mereka tanggung.
Mereka menegaskan akan bertahan di lokasi sambil terus membangun komunikasi dengan berbagai pihak pendamping, serta bersiaga untuk menghadapi penertiban yang akan dilaksanakan besok, Senin, 5 Mei 2025.