Samarinda, Natmed.id – Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hak Asasi Manusia Kalimantan Timur (Kakanwil Kemenham Kaltim) Umi Laili menyoroti masih lemahnya komitmen Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda dalam memenuhi hak dasar penyandang disabilitas.
Kelemahan komitmen Pemkot Samarinda ini terutama pada di sektor transportasi dan infrastruktur yang inklusif.
Menurutnya, informasi dari Dinas PUPR dan Dinas Perhubungan Kota Samarinda menyebutkan tidak tersedianya anggaran khusus di tahun 2025 untuk pemeliharaan atau pembangunan akses jalan dan transportasi publik bagi disabilitas.
“Untuk tahun ini, tidak ada anggaran pemeliharaan jalan aksesibel maupun layanan transportasi khusus disabilitas. Dan ini tentu sangat kami sayangkan,” ungkap Umi, Kamis, 24 April 2025.
Ia menyayangkan hal itu karena ada tantangan geografis dan teknis di Samarinda. Hal ini seperti kepadatan wilayah, banjir, serta kondisi lalu lintas yang belum ramah bagi pejalan kaki maupun pengguna kursi roda.
Oleh karena itu, ia menegaskan, alasan anggaran tidak tidak bisa dijadikan pembenaran untuk abai terhadap kewajiban negara dalam menjamin aksesibilitas publik yang inklusif.
“Betul, dari pemerintah kota menyampaikan bahwa jalur-jalur yang disiapkan untuk disabilitas jarang dilewati karena situasi wilayah kita yang memang tidak mudah. Tapi justru karena itu, fasilitas harus diperbaiki dan disiapkan, bukan dihentikan,” tegasnya.
Umi menambahkan bahwa dalam konteks HAM, terutama merujuk pada prinsip-prinsip internasional, negara tidak boleh hanya mengedepankan logika penggunaan.
Hak disabilitas adalah hak universal yang harus dipenuhi terlepas dari seberapa sering fasilitas tersebut digunakan.
“Dalam standar HAM internasional, fasilitas publik wajib inklusif. Suka tidak suka, digunakan atau tidak digunakan, negara tetap harus hadir dan menjamin hak itu terpenuhi,” katanya.
Umi menekankan, kesadaran ini harus menjadi dasar dalam perencanaan anggaran dan pembangunan infrastruktur di tingkat daerah.
Tanpa fasilitas yang setara, penyandang disabilitas akan terus terpinggirkan dari ruang publik dan layanan dasar.
Ia berharap pemerintah daerah tidak lagi menunda pemenuhan hak disabilitas. Terlebih, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), bukan hanya agenda pemerintah pusat, tetapi menjadi instrumen evaluasi yang mengikat bagi semua level pemerintahan.
“Kita ingin melihat ada perubahan nyata, bukan hanya janji atau data di atas kertas. Disabilitas bukan kelompok kecil yang bisa dilupakan. Mereka adalah warga negara yang haknya setara,” tandasnya.