
Samarinda, natmed.id — Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Ananda Emira Moeis, menegaskan pentingnya sikap terbuka pemerintah terhadap kritik publik yang disampaikan, termasuk melalui media sosial. Ia meminta agar fenomena buzzer—akun-akun anonim yang menyerang balik pengkritik kebijakan—tidak dijadikan alat untuk membungkam aspirasi warga.
Pernyataan itu disampaikan Ananda usai mengikuti Rapat Paripurna ke-17 DPRD Kaltim, Rabu, 11 Juni 2025, di Samarinda. Saat ditemui usai rapat, ia menanggapi pertanyaan wartawan mengenai fenomena meningkatnya serangan balik dari buzzer terhadap warga yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
“Netizen itu masyarakat juga. Kritik mereka harusnya dijadikan saran untuk membangun, bukan justru diserang dengan buzzer,” kata Ananda.
Ia menekankan bahwa dalam demokrasi, kritik adalah bagian dari mekanisme koreksi yang sah. Menurutnya, pemerintah semestinya menjadikan kritik sebagai alat evaluasi kinerja, bukan alasan untuk merespons dengan defensif.
Ananda juga membedakan antara kritik organik dari masyarakat dengan operasi buzzer yang terkoordinasi. Ia mengaku tidak mempermasalahkan apabila kritik datang dari masyarakat secara natural, karena itu adalah bentuk partisipasi warga negara.
“Selama buzzernya itu organik, artinya memang masyarakat yang memberi kritik atau saran, itu wajar dan harus diterima. Tapi kalau yang katanya buzzer itu dibuat-buat, itu malah merusak komunikasi publik,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa iklim komunikasi yang sehat dan terbuka justru akan memperkuat legitimasi kebijakan pemerintah. Jika kritik dibungkam atau diserang balik, kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan akan terkikis.
Komentar ini muncul di luar agenda formal rapat paripurna, yang saat itu membahas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur dan evaluasi pelaksanaan RPJMD. Namun, Ananda menilai bahwa persepsi publik, termasuk yang disuarakan di ruang digital, merupakan indikator penting dalam mengukur dampak kebijakan di lapangan.
“Kalau semua yang mengkritik dianggap oposisi, dianggap mengganggu, lalu diserang pakai akun-akun bayaran, ya bagaimana rakyat mau percaya? Pemerintah harus terima kritik kalau memang mau membaik,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa menjelang Pilkada dan proses transisi menuju era baru di Kalimantan Timur sebagai provinsi penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN), keterbukaan dan komunikasi publik yang jujur sangat penting. Pemerintah dan elite politik harus mampu menunjukkan kedewasaan dalam menyikapi dinamika opini warga.
“Apalagi sekarang ini eranya media sosial. Kalau ruang publik digital dikuasai buzzer yang narasinya diatur-atur, masyarakat makin apatis. Kita tidak bisa bangun kepercayaan dengan cara menekan aspirasi,” tambahnya.
Sebagai legislator dari Fraksi PDI Perjuangan, Ananda menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan tak hanya diukur dari angka dan proyek, tetapi juga dari sejauh mana pemerintah bisa mendengar dan merespons kebutuhan serta kritik rakyat.
“Kritik itu bukan musuh. Itu justru tanda bahwa masyarakat masih peduli,” pungkasnya.