Bandar Lampung,Natmed.id -Ada beberapa dugaan, mengapa minyak goreng langka. Pertama, untuk skala nasional, harga minyak goreng DMO lebih rendah dari harga pasar, serta harga dalam negeri lebih rendah dari harga luar negeri. Akibat terjadinya disparitas harga ini, mendorong produsen minyak goreng mencari harga yang lebih menguntungkan.
“Bisa saja orang menyimpan karena harga untuk minyak goreng DMO itu lebih rendah dari pada harga pasar. Ini hanya untuk di nasional. Sementara harga di Indonesia juga lebih rendah lagi bilamana dibandingkan dengan harga di luar negeri. Artinya bisa saja para pemilik perkebunan dan produsen minyak goreng itu bisa bermain karena disparitas harga itu,” ungkap Firli Bahuri.
Kedua, produsen menahan stok, yang dipicu harga DMO di bawah harga pasar. Menurut Ketua KPK ini, pemerintah harus membuat aturan agar ini tidak terjadi.
“ Bisa saja dimungkinkan adanya pelaku usaha baru, memanfaatkan harga yang DMO 9.300 sementara harga pasar 15.300 (selisih 6000an). Di sini, para pelaku yang mencari keuntungan kan bisa,” terang Firli.
Guna meminimalisir terjadinya penyimpangan, maka Pemerintah harus membuat sistem informasi manajemen dengan membuat neraca komoditas.
“ Oleh karena itu, saya sampaikan dalam rapat koordinasi tersebut sebuah solusi, yakni dengan membuat sistem informasi terkait dengan neraca komoditas, dari mulai hulu sampai hilir. Mulai dari produsen, distributor, industri, konsumsi. Jadi tidak ada penyimpangan,” sambungnya.
Jadi Sistem Nasional Neraca Komoditas (SNANK) ini merupakan sistem yang terintegrasi, dengan sistem yang mencontoh sistem SIMBARA. Sistem ini untuk melihat dan menentukan berapa kebutuhan dalam negeri, apakah untuk industri atau untuk konsumsi masyarakat.
Melalui SNANK ini, pemerintah, aparat penegak hukum dan lembaga pengawas dapat mengetahui berapa produksi, kebutuhan, serta distribusi ke masyarakat dan industri.
“ Simtem ini memudahkan pemantauan, berapa untuk produksi dan jumlah yang dihasilkan, berapa kebutuhannya, berapa untuk yang didistribusikan untuk masyarakat dan industri. Maka dengan begitu akan terjadi keseimbangan. Kalau barang produksi 1.000 distribusi lengkap itu 1.000 juga,” sebut Firli lagi.
Jadi tidak ada lagi yang didasari asumsi, karena by data dan real time. Dengan begitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bisa menentukan dengan tim ekonominya, berapa yang harus dieksport berapa untuk pemenuhan dalam negeri. Jadi prinsipnya kebutuhan nasional harus tercukupi, masyarakat tidak boleh dirugikan.
Sistem ini jika sudah berjalan akan bisa diawasi oleh masyarakat, bukan hanya KPK maupun kementerian terkait. Dari berapa produksi dalam negeri dan berapa kebutuhan masyarakat.
“Misal terjadi situasi harus impor, akan dimasukan juga datanya ke dalam sistem itu, impor darimana. Lalu siapa importirnya, ketika barang yang diimpor sudah datang untuk apa. Apakah digunakan untuk konsumsi masyarakat atau untuk industri,” terangnya lagi.
Firli memastikan sistem tersebut nantinya tidak membuat orang sulit. Karena jika sistem sulit, akan membuka peluang terjadinya korupsi, suap menyuap hingga gratifikasi.
“ Kalau itu terjadi maka akan menjadi urusan KPK, kita tangkap siapapun juga,” pungkasnya