Hukum

Korupsi BBM Terulang, Kerugian Negara Lebihi Kasus Lawe-lawe

Jakarta, Natmed.id – Indonesia kembali diguncang skandal besar di sektor energi. Kali ini, kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkup PT Pertamina Patra Niaga (PPN) yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun.

Teks: Pos pemadam Terminal Lawe-lawe Pertamina RU-V Balikpapan

Dalam perkara ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sejumlah petinggi PT Pertamina sebagai tersangka. Sebab, mereka diduga terlibat dalam praktik pengoplosan BBM dan mark-up kontrak pengadaan minyak.

Kasus ini mengingatkan publik pada peristiwa serupa yang terjadi di Terminal Lawe-lawe, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim), 20 tahun silam.

Kala itu, mafia minyak berhasil mencuri 20 ribu barel minyak mentah melalui pipa bawah laut dan menyelundupkannya ke Singapura. Akibatnya, negara mengalami kerugian lebih dari Rp8 triliun.

Lawe-lawe, sebuah kelurahan kecil di Kabupaten PPU merupakan lokasi strategis bagi Pertamina Refinery Unit (RU) V Balikpapan. Di sinilah fasilitas penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran minyak mentah Pertamina berdiri.

Terminal ini menjadi bagian penting dari proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) yang meningkatkan kapasitas kilang Balikpapan dari 260 ribu menjadi 360 ribu barel per hari.

Namun, pada Oktober 2005, terminal ini menjadi pusat skandal pencurian minyak mentah terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.

Mafia minyak berhasil menyedot minyak dari pipa bawah laut dan menyalurkannya ke kapal tanker yang dikapteni mantan awak kapal Pertamina.

Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dibuat geram atas kejadian ini. “Saya tidak habis pikir dengan pipa berdiameter 1,5 meter dan panjang 7 mil, BBM itu bisa dengan mudah dialirkan dan diselundupkan,” ujar SBY kala itu.

Sebanyak lebih dari 40 tersangka ditangkap, termasuk 18 orang dari Pertamina. Salah satu tersangka utama, Suwardiono, kepala jaga kilang minyak Lawe-lawe dituntut dengan hukuman seumur hidup.

Dua dekade setelah skandal Lawe-lawe, mafia minyak kembali beraksi. Belum lama ini, Kejagung baru mengungkap dugaan korupsi BBM terbesar dalam sejarah Indonesia. Nilai kerugiannya mencapai Rp193,7 triliun, jauh lebih besar dibanding kasus Lawe-lawe.

Kasus ini menyeret Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PPN), Riva Siahaan (RS), yang kini telah ditahan dan diborgol oleh Kejaksaan Agung.

“Kami akan mengusut tuntas kasus ini. Kerugian negara yang begitu besar tidak bisa dibiarkan begitu saja,” ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung.

Selain RS, enam petinggi lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Yoki Firnandi (YF) Dirut PT Pertamina International Shipping (PIS), Sani Dinar Saifuddin (SDS) Direktur Feedstock dan Product Optimization PT PIS, AP yang merupakan VP Feedstock Management PT PIS.

Selain itu, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa (NK), dan DW Komisaris PT NK dan PT Jenggala Maritim (JM), serta GRJ Komisaris PT JM dan Dirut PT Orbit Terminal Merak (OTM)

Muhammad Kerry diketahui merupakan anak dari taipan minyak Muhammad Riza Chalid yang pernah terseret kasus “Papa Minta Saham” pada 2015.

Salah satu trik utama dalam kasus ini adalah pengoplosan BBM. Pihak PPN diduga membeli Pertalite (RON 90), kemudian mencampurnya menjadi Pertamax (RON 92) dengan metode blending. Akibatnya, harga jual menjadi lebih tinggi dan selisih keuntungan dikorupsi.

Selain itu, ada mark-up kontrak shipping yang dilakukan oleh Dirut PT PIS Yoki Firnandi yang bekerja sama dengan Muhammad Kerry. Mereka menerapkan fee ilegal sebesar 13-15 persen, sehingga keuntungan dari transaksi ini masuk ke kantong mafia minyak.

Mereka juga diduga merekayasa kebutuhan impor minyak mentah dengan alasan harga minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dianggap tidak ekonomis.

Hal ini berdampak pada kenaikan harga indeks pasar (HIP) BBM yang dijadikan dasar pemberian subsidi BBM dari APBN.

Jika tuduhan ini terbukti, bukan hanya negara yang mengalami kerugian, tetapi juga masyarakat. Ribuan kendaraan di Indonesia kemungkinan telah menggunakan Pertamax oplosan yang bisa membahayakan mesin kendaraan.

Sementara itu, VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso membantah tuduhan bahwa BBM yang dijual ke masyarakat merupakan hasil oplosan.

“Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Kejaksaan. Kami tetap memastikan kualitas BBM yang dijual ke masyarakat,” kata Fadjar.

Dalam kasus ini, Presiden Prabowo Subianto turut angkat bicara. Namun, komentarnya masih singkat.

“Lagi diurus semua, ya lagi diurus semua,” katanya saat ditanya wartawan di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025.

Kasus korupsi dan pencurian minyak bukanlah hal baru di Indonesia. Skandal seperti Lawe-lawe (2005) dan korupsi BBM (2025) menunjukkan bahwa mafia minyak masih terus beroperasi, dari yang kecil hingga bernilai ratusan triliun rupiah.

Istilah “minyak kencing”, yaitu praktik pencurian BBM subsidi untuk dijual dengan harga lebih tinggi, sudah menjadi rahasia umum. Banyak pemain minyak juga terlibat dalam bisnis ilegal lainnya, seperti pertambangan batu bara ilegal.

Kini, publik menanti langkah tegas pemerintah dan penegak hukum dalam membongkar mafia minyak yang selama puluhan tahun telah merugikan negara dan rakyat.

 

 

  • Beta

Beta feature

Related posts

Polisi Tangkap Tiga Pelaku Langganan Pencurian

Febiana

Kasus Firli Bahuri, Begini Tanggapan Yusril

Aminah

Tagih Hutang Berujung Pengeroyokan

natmed

Leave a Comment

You cannot copy content of this page