Balikpapan, Natmed.id – Proses eksekusi lahan yang melibatkan Ocean Resto menuai sorotan. David, pegawai Ocean Resto menilai langkah hukum yang ditempuh oleh pihak pemohon dan aparat pengadilan belum sepenuhnya mengikuti prosedur yang seharusnya.
Hal ini merujuk pada Surat Penetapan yang dikeluarkan pada 12 Maret 2025 lalu, yang kemudian langsung dilanjutkan dengan tahapan konstatering atau pengukuran batas lahan.
Namun dalam pelaksanaannya, konstatering justru memunculkan polemik. Saat pengukuran dilakukan, panitera dari pihak pengadilan dan perwakilan pengelola ruko mengalami perselisihan mengenai titik awal batas lahan.
Meskipun ukuran lahan yang disengketakan tetap sama, yakni 27 x 37 meter, kedua belah pihak tidak dapat mencapai kesepakatan terkait titik koordinat awal.
“Harusnya setelah konstatering, ada proses aanmaning atau teguran resmi dari pengadilan sebelum masuk ke tahapan eksekusi riil. Tapi berdasarkan keterangan dari owner, sampai sekarang tidak pernah ada surat aanmaning yang diterima,” jelas David, Admin Ocean Resto, di Ocean Resto, Ruko Bandar Balikpapan, Selasa 15 April 2025.
Ia menegaskan bahwa proses eksekusi semestinya dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan titik lahan yang disengketakan harus disepakati bersama terlebih dahulu oleh pemohon, termohon, dan pihak pengadilan.
Ketidakjelasan batas lahan, menurutnya, justru membuka celah konflik dan berpotensi merugikan pihak yang tidak bersalah.
“Sampai hari ini, pihak-pihak terkait masih berdebat di belakang soal titik lahan. Yang satu menunjuk di titik sini, yang lain bilang bukan di situ. Ini membuktikan belum ada kejelasan yang utuh,” lanjutnya.
Pihak Ocean Resto juga mempertanyakan absennya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Balikpapan dalam proses pengukuran, yang seharusnya menjadi pihak berwenang dalam menentukan batas legal atas lahan.
“Ketidakhadiran BPN tentu menimbulkan tanda tanya besar. Dugaan kami, SHGB lahan yang diklaim itu mungkin sudah tidak aktif atau sudah kedaluwarsa. Jadi wajar kalau kemudian jadi pertanyaan, kenapa harus dipaksakan ada pengukuran dan langsung eksekusi?,” ucapnya.
Ia juga menyoroti tindakan eksekusi yang terkesan terburu-buru, padahal gugatan bantahan dari pihak Ocean Resto masih berlangsung.
“Setahu saya, masih ada empat bantahan yang belum tuntas, tapi kenapa proses eksekusi sudah berjalan? Ini yang menurut kami janggal,” ujarnya.
Di tengah proses hukum yang masih berlangsung, David menegaskan bahwa pemilik Ocean Resto bersama kuasa hukumnya akan terus menempuh upaya hukum demi mempertahankan hak atas lahan tersebut.
Adapun soal kemungkinan menempuh jalur pidana, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada kuasa hukum yang dianggap lebih memahami langkah hukum lanjutan.
“Kalau memang ada indikasi pelanggaran pidana, kami percaya kuasa hukum akan mengambil langkah yang tepat. Kami serahkan sepenuhnya ke mereka,” ucapnya.
Di sisi lain, dampak sosial dari peristiwa ini juga menjadi perhatian utama. David menyampaikan bahwa nasib puluhan karyawan kini sedang menjadi fokus perhatian pemilik Ocean Resto.
“Saya mendengar langsung dari owner dan kuasa hukumnya bahwa mereka sangat memprioritaskan hak-hak karyawan. Bahkan kalau hanya bisa menjual satu menu dengan es teh, beliau tetap akan buka yang penting ada pemasukan untuk karyawan,” ucapnya.
Saat ini, Ocean Resto memiliki sekitar 80 karyawan aktif. Namun jika dihitung dengan anggota keluarga yang mereka tanggung, jumlah yang terdampak bisa mencapai ratusan orang.
Situasi ini dinilai sangat memprihatinkan, dan menjadi bukti bahwa persoalan ini bukan hanya soal hukum, tapi juga kemanusiaan.
“Yang ditanggung bukan cuma karyawan, tapi juga anak-anak dan keluarga mereka. Jadi kami berharap, semua pihak bisa melihat ini secara lebih utuh, bukan hanya dari aspek sengketa lahannya saja,” tutupnya.