
Samarinda, natmed.id – Anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) dari Fraksi PKB, Jahidin, menginterupsi Rapat Paripurna DPRD kaltim, pada Kamis, 12 Juni 2025 untuk menyoroti keberadaan 14 bangunan yang berdiri di atas lahan milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim di RT 34 Kelurahan Dadi Mulya, Kecamatan Samarinda Ulu.
Ia menilai persoalan ini sebagai bentuk pembiaran atas penyalahgunaan aset negara yang bisa berujung pada kerugian negara dan konflik kepemilikan di masa depan.
“Bangunan itu baru sekitar lima tahun berdiri, sebelumnya masih tanah kosong,” ujar Jahidin dalam interupsinya.
Menurutnya, dari total 14 bangunan, hanya tiga yang digunakan untuk pelayanan masyarakat, yaitu kantor kelurahan, sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan sekretariat Persatuan Haji Indonesia. Sisanya, sebanyak 11 bangunan, disebut tidak memiliki kejelasan status hukum dan bahkan ada yang digunakan sebagai kantor partai politik (KP).
“Yang 11 lainnya jelas ilegal. Ada juga kantor partai di sana,” tegas Jahidin.
Ia meminta DPRD segera menindaklanjuti persoalan ini melalui pembentukan rapat lintas komisi yang melibatkan Komisi I (bidang hukum), Komisi II (aset dan keuangan), serta Komisi III (infrastruktur dan pengawasan pembangunan). Rapat tersebut juga diminta menghadirkan BPKAD Kaltim, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Samarinda, dan Satpol PP.
“Mudah-mudahan dalam rapat dengar pendapat (RDP) nanti terungkap, dari mana mereka bisa mendirikan bangunan. Apakah menyewa, atau membeli secara ilegal,” ucapnya.
Jahidin menekankan bahwa lahan tersebut merupakan aset milik Pemprov Kaltim. Artinya, setiap bentuk transaksi, baik penjualan maupun pengalihan fungsi, seharusnya mendapat persetujuan resmi dari DPRD.
“Kalau itu diperjualbelikan, tentu harus diparipurnakan. Tidak bisa diam-diam,” tegasnya.
Ia mengingatkan, pembiaran terhadap praktik seperti ini hanya akan membuka ruang terjadinya klaim warisan secara turun-temurun atas tanah negara.
“Nanti yang menyewakan menganggap tanah itu warisan orang tuanya. Ini bahaya,” ujarnya.
Menurut dia, situasi ini ironis karena di sisi lain, banyak organisasi perangkat daerah (OPD) justru belum memiliki kantor representatif. Padahal, harga tanah di sekitar lokasi sudah mencapai antara Rp1,5 miliar hingga Rp2 miliar per unit.
Sementara lahan milik Pemprov yang terbengkalai justru dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab.
Usai rapat, Jahidin kembali menegaskan bahwa praktik sewa-menyewa ilegal di atas tanah negara mengandung potensi pelanggaran hukum, bahkan unsur pidana.
“Kalau dia menyewakan secara ilegal dan tidak masuk kas negara, itu pidana,” ujarnya kepada wartawan.
Ia juga mempertanyakan siapa pihak yang selama ini menerima keuntungan dari uang kontrakan yang dibayar oleh penyewa bangunan.
“Siapa yang bertanggung jawab menerima kontrakan bulanan atau tahunan itu?” tanyanya.
Jahidin menilai lemahnya pengawasan terhadap aset Pemprov menjadi penyebab utama. Ia menyebut beberapa aset penting lain yang bernasib serupa, seperti lahan KNPI seluas dua hektare yang sebagian kini sudah dibangun rumah penduduk, dan lahan di Sanga-Sanga seluas 300 hektare yang kini digunakan warga untuk bertani.
“Tanah KNPI hampir dua hektare sekarang sudah dibangun rumah. Di Sanga-Sanga ada 300 hektare tanah Pemprov yang sekarang ditanami padi,” jelasnya.
Ia menilai sudah saatnya aset-aset negara dikembalikan kepada fungsi dasarnya untuk mendukung pelayanan publik. Salah satu usulannya adalah menjadikan lahan itu sebagai lokasi pembangunan fasilitas pendidikan atau perkantoran OPD.
“Kita kekurangan lahan untuk pendidikan. OPD juga banyak yang belum punya kantor layak. Bangun saja di situ daripada dibiarkan,” katanya.
Berdasarkan data BPKAD Kaltim per 2024, dari total 581 bidang tanah milik Pemprov, baru 181 yang memiliki sertifikat resmi. Sisanya—sekitar 400 bidang—masih tanpa kejelasan hukum, menjadikan aset-aset tersebut rentan diserobot, disewakan, atau bahkan diperjualbelikan tanpa dasar legal.
Dengan kondisi ini, Jahidin mendesak agar DPRD segera menggelar RDP dan menghadirkan semua pihak yang membangun di atas lahan tersebut. Ia menegaskan bahwa pertanggungjawaban harus ditegakkan, termasuk kepada oknum yang menyewakan atau mengklaim lahan sebagai milik pribadi.
“Kita akan tanyai langsung. Apa dasar mereka membangun? Kalau tidak ada izin, tidak mungkin semewah itu,” tutupnya.