Samarinda, Natmed.id – Riuh suara mesin dan klakson bus pagi itu berpadu dengan teriakan kenek yang memanggil penumpang. Terminal Sungai Kunjang, Samarinda, tak pernah benar-benar sepi. Di sela arus kendaraan yang keluar masuk, ada sebuah warung kecil yang berdiri di salah satu sudutnya.
Warung itu milik Sudarmi, perempuan berusia 56 tahun yang sudah hampir 20 tahun menambatkan hidupnya di terminal ini. Etalase kacanya sederhana, berisi jajaran makanan ringan, botol minuman dingin, hingga nasi campur yang mengepul di piring-piring enamel.
Para sopir bus, kenek, hingga penumpang kerap singgah sekadar meneguk kopi panas atau menyantap makanan sederhana sebelum melanjutkan perjalanan.
Bagi Sudarmi, terminal bukan sekadar ruang transit. Dari tempat inilah dapurnya menyala, anak-anaknya tumbuh besar, dan kehidupannya berjalan.
Ia telah menjadi saksi perubahan wajah transportasi di Samarinda, termasuk hadirnya terminal bayangan di Jalan APT Pranoto, Samarinda Seberang.
Terminal bayangan itu kerap dipilih penumpang karena akses menuju transportasi daring lebih mudah. Bus pun menjadikan lokasi tersebut sebagai titik singgah tambahan setelah keluar dari terminal resmi.
Fenomena ini memunculkan perdebatan, tapi baginya, keberadaan terminal bayangan tidak membuat dagangannya sepi.
Ia memahami, penumpang yang sudah berada di Samarinda Seberang tentu lebih praktis naik bus dari sana. Menyeberang kembali ke Terminal Sungai Kunjang hanya menambah ongkos.
Dari cerita yang ia dengar, para sopir pun terbantu karena bisa menambah jumlah penumpang. Baginya, hal itu adalah bagian dari ikhtiar para sopir untuk bertahan di tengah makin banyaknya pesaing transportasi seperti mobil pribadi dan layanan daring.
Di balik hiruk pikuk itu, Sudarmi mendengar banyak keluhan. Sopir bus sering mengaku bingung karena harus berpindah-pindah tempat menunggu penumpang akibat pengaturan terminal bayangan yang berubah-ubah.
Penumpang pun ikut terbebani ketika dipaksa masuk ke terminal resmi, sebab biaya tambahan perjalanan bisa mengurangi uang saku mereka. Ia mengerti betul betapa selembar uang ongkos bisa berarti banyak bagi sebagian orang.
Meski kondisi transportasi terus berubah, pendapatan Sudarmi relatif stabil. Dalam sehari ia bisa membawa pulang ratusan ribu rupiah.
Namun, hampir seluruhnya kembali diputar untuk membeli bahan dagangan keesokan harinya.
Baginya, yang terpenting bukan seberapa besar uang yang didapat, melainkan ada kepastian untuk tetap bisa memasak, berjualan, dan mencukupi kebutuhan keluarga.
Ia adalah ibu dari lima anak yang terbiasa hidup sederhana. Tidak ada tuntutan muluk. Ia hanya berharap rezeki yang datang cukup untuk biaya sekolah, kebutuhan dapur, dan sedikit tabungan untuk hari esok.
Kehidupan Sudarmi di terminal menggambarkan wajah lain dari transportasi publik.
Ia bukan penumpang, bukan pula sopir. Namun, denyut hidupnya menyatu dengan aktivitas keluar masuk bus yang saban hari ia saksikan dari balik warung mungil.
Saat sopir menyalakan mesin, saat penumpang mengangkat barang, saat klakson bersahut-sahutan, itulah musik kehidupan yang mengiringi perjuangannya.
Di tengah hiruk pikuk Terminal Sungai Kunjang, warung kecil itu tetap berdiri. Tidak megah, tetapi penuh arti.
Dari meja kayu sederhana, kopi panas, dan senyum ramah Sudarmi, banyak orang singgah sejenak, menukar lelah dengan sedikit rasa hangat.
Baginya, itulah cukup, sebuah ruang sederhana yang terus memberi kehidupan, di terminal yang tak pernah tidur.