National Media Nusantara
Kalimantan Timur

Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Kaltim Capai 1.110 Kasus

Teks: Kepala Dinas Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kaltim, Noryani Sorayalita

Samarinda, Natmed.id – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kalimantan Timur (Kaltim) mencatat peningkatan signifikan kasus kekerasan sepanjang tahun 2025. Hingga akhir Oktober 2025, total kasus kekerasan yang dilaporkan mencapai 1.110 kasus dengan jumlah korban sebanyak 1.118 orang.

Kepala DP3A Kaltim, Hj Noryani Sorayalita mengungkapkan bahwa terjadi lonjakan sekitar 90 kasus dari bulan September ke Oktober, yang berarti rata-rata terjadi tiga kasus per hari di Kaltim.

Dari total korban, Noryani Sorayalita membeberkan bahwa korban anak-anak mendominasi dengan persentase sekitar 61 persen, sedangkan korban dewasa sekitar 39 persen.

“Kalau dirata-rata 40% dewasa, 60% anak-anak,” kepada awak media, Kamis, 4 Desember 2025 di Puri Hotel Samarinda

Menurut data DP3A, jenis kekerasan yang paling tinggi saat ini adalah fisik, disusul oleh seksual, dan kemudian psikis. Perubahan ini berbeda dengan tahun sebelumnya di mana kasus seksual menjadi yang tertinggi.

Meskipun terjadi peningkatan angka kasus, Noryani mengapresiasi masyarakat Kaltim yang semakin berani untuk speak up atau melaporkan. Ia menegaskan bahwa tingginya angka kasus yang tercatat di sistem informasi (Simfoni PPA) adalah cerminan dari meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melapor, baik untuk kasus yang menimpa diri sendiri maupun orang lain.

“Tingginya kasus kekerasan itu karena kesadaran masyarakat untuk speak up,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan perbedaan delik kasus kekerasan terhadap orang dewasa adalah delik aduan (korban harus melapor), sementara kasus anak adalah bukan delik aduan, yang berarti siapa pun bisa melaporkan.

Selain kasus kekerasan, DP3A juga mencatat 15 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau sekitar 1,1% dari seluruh kasus yang ada. Noryani Sorayalita menyebut Balikpapan sebagai daerah yang paling banyak melaporkan kasus TPPO.

“Yang paling banyak itu di Balikpapan sementara, karena Balikpapan kan daerah transit ya, terus IKN juga di situ, jadi memang rentan,” katanya.

Kaltim sendiri, kata Noryani, adalah tempat tujuan perdagangan (tempat) korban TPPO, bukan pemasok korban. Para korban TPPO ini biasanya dipekerjakan atau dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pelaku.

Dalam hal penanganan, DP3A melakukan pendampingan dan pemulihan bagi korban, termasuk koordinasi untuk pemulangan korban ke daerah asal.

Terkait kritikan masyarakat tentang responsivitas, Noryani menyatakan bahwa DP3A bekerja berbasis laporan dan memiliki wilayah kerja yang jelas, di mana penanganan kasus di tingkat kabupaten/kota adalah kewenangan UPTD PPPA setempat, sedangkan provinsi menangani kasus antar kabupaten/kota atau antar provinsi/negara.

Koordinasi dilakukan dengan baik, termasuk dalam pendampingan psikolog dan rekam jejak kondisi korban. Noryani juga menyebut keberadaan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang sifatnya adalah pencegahan kekerasan, dan DP3A berupaya optimal meskipun terbatasnya sumber daya manusia (SDM) psikolog.

Ia menekankan pentingnya masyarakat untuk tetap waspada dan melakukan literasi terkait bentuk-bentuk kekerasan, termasuk penelantaran anak dan trafiking, yang sering dianggap biasa padahal termasuk kekerasan.

Related posts

Kaltim Siap Jadi Tuan Rumah Rakernas JMSI 2024

Irawati

Banyak Media Penyiaran Ilegal Beroperasi, KPID Kaltim Ingatkan Jangan Asal Kerja Sama

Nanda

Pj Gubernur Kaltim Optimis Pendapatan Daerah Terus Meningkat

Intan