
Samarinda, natmed.id – Anggota DPRD Kalimantan Timur, Sapto Setyo Pramono mengatakan, persoalan banjir yang melanda wilayah Loa Bakung di Kota Samarinda, terutama pada jalur Sungai Loa Bakung yang tembus ke kawasan Kemuning, merupakan masalah klasik yang belum kunjung menemukan penyelesaian konkret.
Fenomena tahunan ini seolah menjadi siklus yang terus berulang tanpa solusi menyeluruh.
Menurut Sapto, kendala utama dalam upaya penanggulangan banjir di wilayah tersebut tak lepas dari faktor geografis dan kepadatan pemukiman yang tumbuh liar di bantaran sungai.
Kepadatan itu mempersempit ruang gerak pemerintah dalam melakukan intervensi teknis seperti pengerukan dan normalisasi aliran sungai.
“Ada banyak rumah. Ada yang memang meminta pergantian yang tidak wajar. Nah ini Pemerintah mau perbaiki tetapi menjadi repot juga,” ujar Sapto saat ditemui pada Jumat, 5 Juli 2025.
Politikus Partai Golkar itu mengakui, pemerintah sebenarnya telah memiliki keinginan dan rencana perbaikan, namun pelaksanaannya seringkali berbenturan dengan resistensi dari warga yang menolak relokasi atau mengajukan tuntutan kompensasi di luar kewajaran.
Ia menambahkan bahwa pihaknya sebagai anggota legislatif akan terus menjalin komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat, guna mencari jalan tengah yang adil dan berkelanjutan.
“Saya coba membantu mendorong, Tapi jangan salahkan di pemerintahan terus. Memang mungkin ada yang belum maksimal, tetapi jangan semuanya disalahkan terus,” kata Sapto, memberi penekanan bahwa tanggung jawab atas persoalan banjir tak bisa dibebankan sepihak pada pemerintah.
Sapto menekankan bahwa kunci utama dalam mengurai benang kusut persoalan banjir Loa Bakung terletak pada kesadaran kolektif warga. Menurutnya, jika masyarakat menyadari pentingnya kemaslahatan bersama, maka proses penanganan akan berjalan lebih mudah.
Ia mengajak semua elemen untuk mulai memikirkan Loa Bakung dalam perspektif jangka panjang. Menurutnya, jika kawasan itu terus dibiarkan berkembang tanpa penataan yang jelas, maka persoalan banjir akan makin rumit dan berbiaya tinggi di masa mendatang.
Lebih jauh, Sapto menyoroti pentingnya semangat gotong royong dalam merawat lingkungan. Dalam pandangannya, kehidupan bermasyarakat mestinya dilandasi prinsip saling membantu dan tidak mementingkan ego individu.
“Kita ini makhluk sosial. Hidup itu harus tolong menolong. Bukan soal siapa yang hebat di situ,” tegas Sapto.
Ia berharap, ke depan masyarakat dapat lebih terbuka untuk berdialog dan menerima langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam rangka penataan kawasan bantaran sungai.
Bagi Sapto, keberhasilan penanganan banjir tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga pada partisipasi aktif dan sikap kooperatif warga yang tinggal di sekitar daerah rawan genangan.