
Balikpapan, Natmed.id – Polemik pengelolaan Royal Suite Hotel Balikpapan kembali mencuat ke permukaan. Hal ini setelah DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) menemukan dugaan pelanggaran serius dalam kerja sama antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim dengan pihak swasta, PT Timur Borneo Indonesia (TBI).
Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud menyoroti bahwa kerja sama tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan harus segera dievaluasi secara menyeluruh.
Pengelolaan hotel yang merupakan aset milik Pemprov Kaltim itu diketahui telah menunggak sejak tahun kedua kerja sama. Akumulasi tunggakan mencapai angka fantastis, yakni sekitar Rp4,8 miliar. Tak hanya itu, dugaan penyalahgunaan fungsi hotel pun turut memperkeruh situasi.
Dalam pernyataannya kepada media pada Sabtu, 17 Mei 2025, Hasanuddin menegaskan bahwa kerja sama tersebut berpotensi cacat prosedur karena tidak pernah melalui mekanisme persetujuan lembaga legislatif.
“Sampai sekarang, kami belum pernah melihat dokumen persetujuan dari DPRD. Berdasarkan regulasi, semua kerja sama pemanfaatan aset daerah harus disetujui dewan. Kalau ini tidak ada, maka dasar hukumnya lemah, bahkan bisa dikatakan cacat,” tegasnya.
Hasanuddin menambahkan bahwa sesuai aturan perundang-undangan, seluruh pemanfaatan aset daerah seharusnya tunduk pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan mendapatkan legitimasi dari lembaga legislatif. Ketiadaan dokumen persetujuan dari DPRD bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga membuka ruang terjadinya penyimpangan pengelolaan aset publik.
Dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diketahui bahwa kontribusi dari PT TBI hanya dibayarkan satu kali pada tahun pertama kerja sama. Sejak tahun 2018, ketidaksesuaian ini bahkan sudah menjadi temuan resmi lembaga audit negara. Keprihatinan semakin mendalam karena dalam praktiknya, hotel tersebut diduga telah menyimpang dari fungsi utamanya.
Temuan di lapangan menyebutkan adanya perubahan fungsi kamar hotel menjadi ruang karaoke dewasa serta penjualan minuman beralkohol tanpa mengantongi izin resmi. Hal ini tentu bertentangan dengan asas pemanfaatan aset daerah yang semestinya mendukung pelayanan publik dan peningkatan pendapatan daerah, bukan sebaliknya menjadi sumber persoalan hukum dan moral.
“Jangan biarkan ada pihak yang mengelola aset daerah seenaknya. Kalau pengelola tidak patuh kontrak dan menyalahgunakan izin, apalagi tidak menyetor ke kas daerah, Pemprov wajib bertindak. Ini soal kepercayaan publik dan akuntabilitas keuangan daerah,” ujar Hasanuddin.
Lebih lanjut, Hasanuddin menyampaikan bahwa DPRD Kaltim akan mengambil langkah konkret dengan mengkaji ulang seluruh kontrak kerja sama pengelolaan aset daerah, khususnya yang melibatkan pihak ketiga.
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah pelanggaran berulang dan memastikan bahwa tata kelola aset publik dijalankan secara profesional dan bertanggung jawab.
Sebagai wujud komitmen terhadap penguatan tata kelola, Hasanuddin mengingatkan bahwa ke depan, semua bentuk kerja sama pemanfaatan aset daerah harus melalui mekanisme verifikasi dan persetujuan DPRD.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
“Ini jadi pelajaran penting. Kita harus pastikan ke depan, tidak ada lagi kerja sama yang diloloskan di bawah meja tanpa persetujuan lembaga legislatif. Semua harus transparan,” pungkas Hasanuddin.