Probolinggo, Natmed.id – Pemahaman tentang kesetaraan manusia kembali ditegaskan dalam peluncuran sekaligus bedah buku “Melampaui Warna Kulit: Jejak-Jejak Teologi Anti-Rasisme dalam Kristen dan Islam untuk Indonesia” yang digelar Jaringan Intelektual Nahdliyin (JIN) di Cafe Alino Kraksaan, Minggu 16 November 2025. Pesan utama bahwa martabat manusia tak pernah ditentukan oleh pigmentasi menjadi sorotan sepanjang acara.
Buku setebal 486 halaman karya akademisi UNUJA, Dr. Nurul Huda, tersebut dikaji bersama peneliti sosial Dr. Achmad Fawaid yang hadir sebagai pembanding. Sejumlah intelektual muda, termasuk perwakilan Ikatan Alumni PMII, memadati ruangan untuk mengikuti diskusi.
Huda menjelaskan bahwa rasisme tidak hanya hadir sebagai sikap individual, tetapi juga beroperasi dalam struktur sosial yang menempatkan warna kulit sebagai penentu kualitas manusia. Ia menautkan analisisnya dengan pendekatan teologi pembebasan yang pernah diusung tokoh-tokoh korban diskriminasi rasial.
Huda merujuk pada dua figur penting: James H. Cone dari tradisi Kristen di Amerika Serikat dan Farid Esack dari tradisi Islam di Afrika Selatan. Keduanya, menurutnya, membaca ulang ajaran agama sebagai energi pembebasan bagi kelompok yang ditekan oleh stigma rasial.
Buku tersebut juga mengangkat fenomena rasisme di Indonesia, terutama pengalaman diskriminatif terhadap komunitas Papua berkulit hitam serta warga keturunan Tionghoa. Beberapa data turut dipaparkan untuk memperkuat temuan tersebut, termasuk laporan internasional dan catatan Komnas HAM.
“Agama seharusnya menjadi sumber keadilan dan kesetaraan,” ujar Huda, menegaskan pentingnya membangun pemahaman keberagamaan yang tidak memupuk hierarki rasial.
Ia menambahkan bahwa upaya merumuskan teologi anti-rasisme di Indonesia perlu berpijak pada pengalaman korban lokal. Menurutnya, Pancasila dan UUD 1945 bisa menjadi dasar kuat untuk memperjuangkan narasi keadilan rasial yang inklusif.
Rekomendasi yang ditawarkan Huda bersifat pembebasan, inklusif, serta melibatkan seluruh elemen masyarakat. Negara disebutnya sebagai aktor utama yang harus memastikan kebijakan anti-diskriminasi berjalan efektif.
Dr. Achmad Fawaid dalam sesi ulasan menyoroti konsep everyday racism atau rasisme sehari-hari, bentuk diskriminasi halus yang sering dianggap normal. Ia menilai pola ini lebih berbahaya karena tidak terlihat namun terus mengakar dalam kebiasaan sosial.
Kegiatan yang berlangsung mulai pukul 13.00 hingga 16.00 WIB itu didukung Bedug Institute, PT Gasgus Cargo Nusantara, dan PC IKA PMII Probolinggo. Para peserta berharap wacana teologi anti-rasisme ini tidak berhenti pada forum intelektual, tetapi mendorong lahirnya gerakan nyata untuk menghapus diskriminasi berbasis warna kulit di Indonesia.
