National Media Nusantara
Diskominfo Kaltim

Ekosistem Mangrove Kaltim Menyusut, Ancaman Datang dari Tambak dan Industri

Teks: Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji memaparkan kondisi mangrove yang terus menyusut dalam Talkshow Hari Mangrove Sedunia di Pendopo Odah Etam Samarinda, Selasa, 26 Agustus 2025

Samarinda, Natmed.id – Ekosistem mangrove di Kalimantan Timur terus tergerus. Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2024, luas mangrove eksisting di Kaltim tercatat 240.870 hektare dengan potensi habitat 110.867 hektare. Total 351.737 hektare tersebut menempatkan Kaltim sebagai salah satu provinsi dengan ekosistem mangrove terluas di Indonesia.

Namun sebagian kawasan telah mengalami degradasi akibat alih fungsi lahan. Kajian selama 1994–2024 mencatat 38.558 hektare mangrove hilang, dengan 48,5 persen berubah menjadi tambak, 36,9 persen menjadi semak belukar, lima persen menjadi perkebunan, dan sisanya untuk keperluan lain.

Kondisi ini menjadi sorotan dalam Talkshow Hari Mangrove Sedunia bertema “Jospol Mangrove untuk Pengembangan Pariwisata dan Budaya Berbasis Desa” yang digelar Yayasan Konservasi Alam Nusantara bersama Tribun Kaltim di Pendopo Odah Etam, Samarinda, Selasa, 26 Agustus 2025.

Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji menegaskan perlunya langkah serius untuk menekan laju kerusakan. Ia menyebut kerusakan mangrove terjadi semakin cepat dalam beberapa dekade terakhir.

“Mangrove adalah benteng alami dari abrasi dan penyerap karbon yang efektif. Kalau kita biarkan terus hilang, kita rugi dua kali, kehilangan ekosistem dan kehilangan peluang ekonomi dari karbon biru yang bisa diperdagangkan,” ujarnya.

Menurut Seno, penyebab utama penyusutan adalah pembukaan tambak yang tidak ramah lingkungan.

“Tambak menjadi pemicu terbesar hilangnya mangrove. Ironisnya, banyak tambak kemudian ditinggalkan karena tidak lagi produktif dan akhirnya berubah jadi semak belukar,” ucapnya.

Ekosistem mangrove di Kaltim tersebar di tujuh kabupaten, 46 kecamatan, dan 234 desa. Wilayah terluas berada di Kutai Kartanegara dengan luasan mencapai 110.167 hektare. Dengan sebaran itu, Kaltim menyumbang hampir enam persen dari total mangrove Indonesia.

Pimpinan Redaksi Tribun Kaltim, Sumarsono, menilai mangrove memiliki nilai strategis tidak hanya dari sisi ekologi, tetapi juga ekonomi. Menurutnya, kawasan mangrove bisa menjadi alternatif sumber pendapatan di tengah menurunnya ketergantungan pada tambang dan migas.

“Selama ini kita terlalu bangga dengan kekayaan migas. Padahal Kaltim punya ratusan ribu hektare mangrove yang bisa dikembangkan jadi wisata pesisir berbasis desa, bahkan menghasilkan pemasukan dari perdagangan karbon,” katanya.

Ia menambahkan, pengelolaan mangrove harus melibatkan masyarakat. “Masyarakat desa pesisir harus ikut sejak perencanaan sampai pengelolaan. Kalau mereka merasa memiliki, mangrove bukan hanya lestari, tapi juga jadi sumber ekonomi dan budaya,” ujarnya.

Selain itu, Sumarsono menyinggung perlunya pemerintah melihat mangrove sebagai peluang pendapatan daerah. “Jangan sampai kebijakan seperti kenaikan pajak justru membebani warga. Potensi mangrove bisa dioptimalkan untuk mendatangkan pemasukan lewat wisata dan perdagangan karbon,” tambahnya.

Kajian driver deforestasi 2004–2024 juga menegaskan bahwa 97 persen deforestasi mangrove di Kaltim terjadi di kawasan APL, hutan produksi, dan kawasan konservasi.

Berdasarkan status izin, kerusakan terbesar berada di kawasan PIPPIB (26 persen), hutan produksi tanpa izin usaha (23 persen), perkebunan (14 persen), APL tanpa izin usaha (14 persen), serta hutan desa (10 persen).

Dewan Mangrove Dunia mencatat luas hutan mangrove global mencapai 16,53 juta hektare. Indonesia menjadi pemilik terbesar dengan 3,44 juta hektare atau sekitar 20 persen dari total dunia. Dengan angka 351 ribu hektare, Kaltim menyumbang porsi signifikan terhadap total luasan mangrove nasional.

Wakil Gubernur Seno Aji menekankan bahwa konservasi dan pemanfaatan mangrove harus berjalan beriringan. “Konservasi menjaga keberlanjutan ekosistem, sementara pemanfaatan memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Potensi karbon biru dari mangrove bisa kita jual ke pasar internasional dan hasilnya bisa digunakan untuk pembangunan daerah,” ungkapnya.

Talkshow Hari Mangrove Sedunia di Samarinda dihadiri pemerintah, akademisi, komunitas lingkungan, dan perwakilan desa. Forum ini diharapkan menjadi momentum memperkuat kolaborasi untuk menghentikan deforestasi dan membuka jalan baru menuju ekonomi hijau berbasis desa pesisir.

Related posts

Kaltim Puncaki Indeks Kemerdekaan Pers, Diskominfo Mengupayakan Regulasi Baru

Aminah

Wagub Kaltim Gelar Ramah Tamah, Ribuan Warga Padati Rumah Jabatan

Nanda

Pj Gubernur Kaltim Tekankan Kolaborasi Pembangunan Pendidikan IKN

Intan

You cannot copy content of this page