
Samarinda, natmed.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah mendapat respons dari Ketua DPRD Kalimantan Timur, Hasanuddin Mas’ud.
Dalam keterangannya usai memimpin Rapat Paripurna ke-21 di Gedung D lantai 6 Kantor DPRD Kaltim, Senin, 1 Juli 2025, Hasanuddin menyampaikan bahwa pihaknya menyambut positif langkah MK yang menetapkan jeda waktu maksimal dua tahun enam bulan antara pemungutan suara tingkat nasional dan lokal.
MK dalam putusan tersebut menyatakan bahwa pemilihan umum untuk Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, serta anggota DPD, akan dipisahkan dari pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta pemilihan kepala daerah, gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakilnya.
“Kalau buat kita di daerah provinsi tingkat satu dan dua menyambut dengan baik daripada penambahan dua tahun 2024–2031,” ujar Hasanuddin.
Menurutnya, pemisahan jadwal pemilu antara tingkat nasional dan daerah memberikan ruang yang lebih longgar bagi penyelenggara, peserta, maupun pemilih untuk menjalani setiap tahapan demokrasi yang kompleks secara lebih tertib dan fokus.
Meski demikian, ia juga menilai bahwa keputusan tersebut berpotensi menimbulkan ketimpangan secara politis maupun administratif, khususnya di tingkat pusat.
Ia mengkhawatirkan, perbedaan perlakuan terhadap masa jabatan dapat memicu kegaduhan di parlemen nasional, mengingat tidak adanya penyesuaian waktu bagi anggota DPR RI dan DPD, sementara di tingkat daerah justru terjadi perpanjangan masa jabatan hingga dua tahun.
Politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu menyoroti bahwa seluruh ketentuan terkait masa jabatan dan siklus pemilu merupakan hasil dari proses legislasi di DPR RI. Dalam konteks itu, lanjutnya, anggota legislatif di tingkat nasional justru bisa merasa dirugikan karena tidak mendapat perpanjangan masa jabatan sebagaimana yang dialami oleh pejabat daerah.
“Putusan MK bersifat final dan mengikat. Tapi, sebenarnya semua keputusan Undang-Undang itu dirancang oleh DPR RI. Nah, kalau dilihat DPR RI dirugikan karena hanya lima tahun,” katanya lagi.
Ia mengisyaratkan bahwa perlu adanya keselarasan sikap di antara seluruh pemangku kepentingan untuk merespons putusan MK tersebut secara bijak. Meski putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap, Hasanuddin menyarankan agar langkah ke depan tetap menunggu arahan dan kebijakan lebih lanjut dari pemerintah pusat.
“Nanti kita tunggu saja sebab pada prinsipnya kita mengikuti aja,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.
Dalam putusannya yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, MK menetapkan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilaksanakan terpisah, dengan jarak waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan.
Putusan tersebut membuka kemungkinan bahwa pemilu daerah, termasuk Pilkada serentak, akan digelar pada tahun 2031, dua tahun setelah pelaksanaan Pemilu Nasional 2029.
Bagi sebagian kalangan, putusan ini dianggap sebagai bentuk pematangan sistem demokrasi yang lebih adil dan terstruktur. Namun bagi yang lain, termasuk sejumlah pihak di legislatif nasional, keputusan ini justru menimbulkan tantangan baru yang memerlukan penyesuaian serius dalam sistem politik dan tata kelola pemerintahan di Indonesia.