Samarinda,Natmed.id – Kampung Ketupat, begitu sebutan untuk daerah yang terletak di bilangan Jalan Mangkupalas, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda.
Permukiman yang berdampingan dengan Sungai Mahakam itupun, banyak menyimpan cerita. Misalnya saja, mulai dari penghasil Ketupat Nipah, hingga menjadi kampung warna-warni.
Spontan, perubahan demi perubahan yang terjadi di sana, mampu menyedot wisatawan. Contohnya, berkat masyarakat yang berdomisili di Gang Samsul RT 21 itu, kini menjadikan lokasinya surganya ketupat.
Saat Natmed.id berkunjung ke Kampung Ketupat, Minggu (3/10/2021) pagi, banyak informasi dirangkum, mulai kisah pembuat ketupat, hingga keinginan mendapat kucuran bantuan anggaran.
Pemkot Samarinda sendiri, telah mendirikan monumen ketupat dan meresmikannya pada Januari 2019 silam. Adanya tugu menjadi ikon kota serta desain kampung warna-warni, RT 21 pun ramai didatangi pengunjung.
Melihat ke belakang, dahulunya jika ada warga yang berkunjung ke sana, itu hanya sekedar membeli atau memesan ketupat. Teranyar, Kampung Ketupat menjadi tempat destinasi wisata baru bagi masyarakat Samarinda maupun luar kota.
Masni (54) misalnya, dia satu dari masyarakat di sana berprofesi pembuat ketupat. Saat disambangi, wanita perantauan asal Sulawesi Selatan tersebut, mengisahkan usaha ketupat yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya.
Beberapa tahun lalu, kata Masni kepada media ini saat mulai membuka pembicaraan, ia belajar membuat ketupat dengan tetangganya, sampai akhirnya mampu berbuat sendiri.
“Buat ketupat ini adalah usaha pribadi saya sejak pertengahan tahun 2000 an,” kenangnya.
Hasil olahan daun nipah dengan rangkaian jari-jemarinya hingga menjadi ketupat itu, ternyata mampu memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Jika telah selesai, maka ketupat diantarnya ke sejumlah warung makan yang telah berlangganan, diantaranya rumah makan Mantap sekitaran Pelabuhan Pasar Pagi.
Mengenai harga, diapun tidak mematok pembungkus ketupat dari daun Nipah dengan nilai tinggi. Dalam satu ikatnya ketupat dengan isi 100 buah, di banderol sekitar Rp 25.000.
“Contoh, sudah ada 100 ikat, nah itu langsung diantar dengan harga 25.000 ribu per 100 buah tanpa isinya,” terang Masni.
Daun ketupat sendiri, sebutnya melanjutkan, di suplay dari Muara Kembang dengan estimasi waktu 3 hari baru sampai diterimanya.
Harga Rp 30 ribu per ikat daun itu, jika diolahnya menjadi sarang ketupat, maka akan menghasilkan 800 buah sarang ketupat.
Ditanya banyaknya pelaku usaha yang terguncang perekonomiannya akibat sebaran pandemi Covid-19, Masni malah terkesan membantahnya. Bahkan, pembeli sarang ketupatnya semakin meluas hingga sampai Kota Balikpapan.
Berbicara permodalan khususnya bantuan keuangan dari Pemkot Samarinda, diakui ibu ini pernah menerimanya dari Dinas Sosial sebesar Rp 20 juta untuk 1 kelompok dibagi 10 orang peserta.
“Dulu pernah dapat bantuan, tapi sekali saja, uang Rp 20 juta di bagi 10 orang jadi dapatnya Rp 2 juta per orang,” ucapnya.
Masni maupun pelaku usaha lainnya, masih berharap kembali mendapatkan bantuan dari Pemkot Samarinda, berupaya dana segar ataupun pembinaan. Hal itu agar usaha mayoritas masyarakat di sani, tidak menggunakan modal pribadi.
“Berharap dapat bantuan lagi dari pemerintah, karena kalau pakai modal sendiri sangat terbatas, artinya memesan bahan tidak bisa banyak karena dengan modal terbatas,” pungkasnya.