National Media Nusantara
DPRD Kaltim

Salehuddin Sebut Putusan MK Harus Ditindaklanjuti dengan Revisi Regulasi

Teks: Anggota DPRD Kalimantan Timur, Salehuddin

Samarinda, natmed.id – Anggota DPRD Kalimantan Timur Salehuddin mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan daerah adalah isyarat penting yang menuntut penataan ulang sistem demokrasi di Indonesia.

Ia menilai, implikasi dari putusan tersebut tidak bisa dipandang sederhana karena menyangkut sejumlah aspek fundamental, termasuk revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

Salehuddin, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Komisi I DPRD Kalimantan Timur, mengungkapkan bahwa Fraksi Golkar di DPRD Kaltim telah terlebih dahulu membahas secara internal mengenai putusan MK ini.

Bahkan, pihaknya sempat melakukan dialog langsung dengan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar dan jajaran Fraksi Golkar di DPR RI untuk menggali lebih jauh tafsir dan konsekuensi politik-legal dari putusan tersebut.

“Kebetulan kami Fraksi Golkar DPRD Kaltim beberapa waktu lalu juga bertemu langsung dengan Sekjen DPP Golkar sekaligus dengan Fraksi Golkar DPR RI, diskusi juga dengan putusan MK tersebut,” ujar Salehuddin saat ditemui di Kantor DPRD Kaltim, belum lama ini.

Ia menggarisbawahi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudisial tertinggi patut dihormati. Namun demikian, keputusan tersebut juga menimbulkan pertanyaan krusial, terutama menyangkut keberlanjutan sistem hukum dan politik nasional.

“Yang pasti memang justru yang menjadi pertanyaan itu pasca keluarnya putusan ini dengan beberapa konsekuensinya,” ucapnya.

Menurutnya, ada dua hal pokok yang mesti dicermati pasca amar putusan MK. Pertama, persoalan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai institusi negara yang memiliki kewenangan mengadili dan memutus persoalan hukum kenegaraan. Keputusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada ruang untuk mengabaikannya.

“Yang pertama, apakah kita masih percaya bahwa MK itu adalah salah satu instrumen tinggi negara yang memang berhak untuk mengadili permasalahan hukum. Artinya, keputusan MK ini bersifat final dan mengikat,” katanya.

Kedua, lanjut Salehuddin, jika keputusan tersebut diterima, maka secara otomatis harus ditindaklanjuti dengan perubahan regulasi, baik pada tingkat undang-undang partai politik maupun UUD 1945 itu sendiri.

Pasalnya, selama ini tafsir atas pemilu serentak, baik nasional maupun daerah, mengacu pada ketentuan dalam konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

“Kalau kita percaya, otomatis apapun amar putusan yang disampaikan ini, mau tidak mau kita harus tindak lanjuti dalam bentuk mungkin perubahan revisi partai di Pemilu, termasuk UUD 1945, karena selama ini yang tidak menyetujui terkait putusan MK ini dianggap menyalahi dari UUD 1945,” tambahnya.

Ia menekankan pentingnya peran pemerintah pusat, khususnya Kementerian Hukum dan HAM bersama DPR RI, dalam menerjemahkan isi putusan tersebut ke dalam perangkat hukum yang konkret. Tanpa penjabaran teknis yang memadai, putusan MK berisiko menjadi sumber kebingungan di lapangan, apalagi di tengah dinamika politik yang kian kompleks

“Tinggal bagaimana pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM bersama DPR RI yang notabene punya hak untuk melaksanakan pembentukan perundang-undangan, sejauh mana mereka bisa menafsirkan sekaligus juga membuat aturan teknis terkait putusan itu. Walaupun ini sebenarnya tetap berjalan memang ada pro kontra di masyarakat,” terang Salehuddin.

Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 26 Juni 2025, resmi memutuskan bahwa pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah harus dipisahkan. Pemilu Nasional yang meliputi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, serta DPD, akan dilaksanakan lebih dulu.

Sementara pemilu tingkat daerah yang mencakup DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, akan dilangsungkan selambat-lambatnya dua tahun enam bulan setelah Pemilu Nasional.

Putusan ini merupakan hasil dari gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang mempermasalahkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. Perludem meminta agar pemilu nasional dan lokal diberi jeda waktu agar proses demokrasi lebih efektif dan tidak tumpang tindih.

Dengan putusan tersebut, skenario penyelenggaraan Pilkada serentak berpotensi bergeser ke tahun 2031, atau dua tahun setelah Pemilu Nasional 2029.

Skema baru ini diyakini akan membawa dampak besar terhadap arsitektur politik elektoral di Tanah Air, sekaligus membuka ruang evaluasi terhadap kualitas dan efektivitas sistem demokrasi yang telah berjalan selama ini.

Related posts

Dikelola Perusahaan Australia, RSUD IA Moeis Siap Terapkan Standar Global

Ellysa Fitri

Nidya Listiyono Sebut Inflasi Rentan Terjadi Jelang Nataru

Laras

Udin Minta Pj Gubernur Kaltim Memperhatikan Jalan Lintas Daerah yang Belum Maksimal

Laras

You cannot copy content of this page