Samarinda, Natmed.id – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjadi organisasi keagamaan pertama yang mengajukan permohonan izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2024 pada akhir Mei lalu.
Regulasi ini merupakan perubahan dari PP Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang memungkinkan organisasi kemasyarakatan (ormas) untuk menerima izin tambang.
Tokoh Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur (NU Kaltim) Asman Aziz menyayangkan langkah PBNU yang menerima WIUPK tanpa adanya diskusi serius terlebih dahulu.
“Dari sekian banyak organisasi keagamaan yang sudah menyatakan penolakan, PBNU malah menerimanya tanpa ada pembahasan mendalam,” ungkap Asman, Sabtu (8/6/2024).
Asman menyoroti bahwa biasanya NU dalam urusan-urusan strategis selalu menggelar tradisi Bahtsul Masail. “Saya memang tidak tahu proses pendiskusian internal, tapi biasanya NU dalam urusan-urusan yang sangat strategis selalu ada tradisi Bahtsul Masail,” jelasnya.
Bahtsul Masail merupakan forum silaturahmi bagi warga NU yang membahas dan memecahkan masalah-masalah tematik dan aktual yang memerlukan kepastian hukum.
“Bahtsul Masail itu harus jelas referensinya, dan harus jelas basis-basis keilmuannya. Biasanya ada penjelasan fikihnya atau dalil-dalil keagamaannya,” lanjutnya.
Asman yang juga penggerak GUSDURian di Samarinda menilai bahwa pemerintah menggunakan langkah ini untuk membungkam kelompok-kelompok masyarakat sipil, khususnya ormas keagamaan. Ia juga menyoroti bahwa tugas NU adalah mengkritisi kekuasaan negara yang tidak beres mengelola bangsa.
“Negara ini cenderung kalau tidak dikritisi akan korup dan menyalahgunakan kekuasaannya. Itu saya kira akan terus terjadi dan melemahkan gerakan sipil,” tegasnya.
Berdasarkan AD/ART NU, terdapat usaha-usaha koperasi untuk menyejahterakan masyarakat dan mendukung roda organisasi. “Dahulu kiai-kiai atau ulama NU membangun koperasi yang melibatkan anggota dan membuat mereka sejahtera,” ujar Asman.
Ia menambahkan bahwa NU sudah menunjukkan kontribusinya dalam memperkuat ekonomi bangsa. Namun, pemberian izin hanya akan melemahkan NU itu sendiri.
“Mengingat sejarah dan latar belakang NU tidak bisa dipisahkan dengan pesantren. Kemudian, para kiai-kiai pesantren bersepakat mendirikan NU secara resmi sebagai organisasi tahun 1926,” tambahnya.
Asman juga mengingatkan bahwa kelompok masyarakat sipil seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) selama ini mengkritisi proses penghancuran lingkungan lewat pertambangan, dan ke depan bisa dihadapkan dengan PBNU.
“Orang yang menolak tambang mungkin dianggap melawan PBNU. Kemudian, dianggap juga tidak setuju dengan Islam Nusantara. Jadi rawan sekali, sementara kita tahu karakter dasar tambang ini pintu masuknya korupsi dengan kekerasan,” katanya.
Lebih lanjut, Asman menambahkan dari sisi perizinan yang sudah dikorupsi, proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) saat otonomi daerah di Kaltim dibiayai dari bisnis gelap pertambangan.
“Kenapa NU mau masuk di lingkaran hitam seperti itu?” tanyanya. Asman menduga kemungkinan besar NU akan menjadi makelar saja.
“NU selalu bilang NU siap, kita punya SDM. Tapi menurut saya tidak mungkin orang pesantren akan mengerjakan itu. Pasti diserahkan ke orang-orang yang punya pengalaman menggarap pertambangan selama ini,” tuturnya.
Dalam catatan Jatam, di Kaltim masih ada 1.735 lubang bekas tambang. Di Kota Samarinda sendiri terdapat 349 lubang tanpa direklamasi dan sudah menewaskan 49 korban jiwa.
“Kalau kemudian NU menambang di Kaltim, itu akan menambah lubang-lubang terus mau direklamasi itu seperti apa. Mau menghancurkan bukit atau gunung di mana lagi, mengangkut tanah dari mana?”
Asman menegaskan, tata kelola pertambangan harus diperbaiki terlebih dahulu.
“Stop izin dan perbaiki tata kelolanya. Nanti, kalau pemerintah berhasil memperlihatkan tata kelola pertambangan yang lebih baik, dan bermanusiawi juga lebih beradab. Dalam konteks orang-orang beragama seperti NU harusnya itu dulu yang diperhatikan,” tegasnya.
Ia mengingatkan, banyaknya pertimbangan sebagai bahan Bahtsul Masail di NU, termasuk mengenai keselamatan rakyat.
“Jangan hanya berpikir soal saya akan mendapat keuntungan yang banyak. Sangat rawan diorganisasikan, gimana itu kalau ada orang-orang tertentu yang kaya dari proses ini,” kritiknya.
Asman mengingat, di zaman Gusdur, PBNU menjadi tempat persembunyian atau tempat yang nyaman bagi aktivis-aktivis ketika dicari oleh kekuasaan dan polisi.
“Termasuk aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) di zaman orde baru, dianggap sangat kritis terhadap kekuasaan. Itu ya tempat sembunyi yang nyaman di tempat Gusdur ya PBNU. Kemudian, apakah NU akan menggunakan Bansernya seperti itu, ini orang yang akan mengkritik tambang akan berhadapan dengan Banser,” ia menekankan.