
Samarinda, natmed.id – Anggota DPRD Kalimantan Timur Husin Djufri menegaskan bahwa aktivitas tambang ilegal yang menyasar kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Universitas Mulawarman di Samarinda harus segera dihentikan melalui penegakan hukum yang tegas dan menyeluruh.
Menurutnya, jika tidak ada langkah konkret dan efek jera yang nyata, maka ancaman terhadap kawasan konservasi pendidikan itu akan terus berulang.
“Memang di daerah hutan Unmul itu, saya pernah lihat sendiri, batu baranya besar dan tebal sekali. Tumpukan batunya luar biasa. Ini bakal terus diincar pihak-pihak yang mau cari untung,” kata Husin dalam Rapat Dengar Pendapat Gabungan Komisi DPRD Kaltim, Kamis, 10 Juli 2025.
Husin menggarisbawahi bahwa daya tarik utama kawasan ini bagi para pelaku tambang ilegal bukan hanya terletak pada kandungan batu baranya yang tebal dan berkualitas tinggi, tetapi juga karena letaknya yang berdekatan dengan pusat kota. Kedekatan geografis ini memudahkan distribusi hasil tambang secara diam-diam, melewati jalur belakang yang sulit diawasi.
“Kalau dekat kota, bawa batunya gampang lewat belakang. Kalau pengawasan kurang dan tidak ada efek jera, saya yakin akan terjadi lagi. Batu baranya di sana luar biasa, tebal, dan kualitasnya bagus,” ungkapnya.
Menurut anggota Komisi III DPRD Kaltim itu, keberadaan KHDTK Unmul tidak bisa dipandang sebagai kawasan biasa. Ia merupakan kawasan strategis dengan fungsi akademik dan ekologis yang vital.
Di sinilah mahasiswa, peneliti, dan akademisi menggali ilmu, meneliti, serta merawat kesadaran lingkungan. Kerusakan di kawasan ini, kata Husin, adalah kerusakan terhadap marwah pendidikan itu sendiri.
“Kalau tidak ditindak tegas, ini ibarat gula yang manis. Semut pasti akan terus datang. Jangan biarkan kawasan pendidikan dan konservasi ini dirusak demi keuntungan segelintir orang,” tegasnya.
Husin juga mendorong agar proses hukum terhadap pelaku tambang ilegal tidak berhenti pada pelaku lapangan semata.
Ia meminta kepolisian dan instansi terkait menggali lebih dalam untuk mengungkap siapa aktor intelektual di balik operasi tambang ilegal tersebut, termasuk jaringan distribusi batu bara yang melibatkan penampung dan pembeli.
“Kasus ini momen untuk memberikan efek jera. Harus diusut siapa sponsornya, ke mana batu baranya dikirim. Supaya jelas bahwa di Kaltim tidak ada ruang untuk tambang ilegal,” katanya.
Ia menyebutkan, kerusakan hutan tidak seperti kerusakan fisik lain yang dapat segera diperbaiki. Pemulihan kawasan konservasi membutuhkan waktu panjang, sumber daya besar, dan seringkali hasilnya tidak bisa mengembalikan kondisi seperti semula.
Oleh karena itu, menurutnya, pendekatan pencegahan jauh lebih penting dan harus menjadi prioritas utama pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum.
“Harus dicek jalur distribusinya, siapa yang menampung, ke mana dijual. Kalau rantai distribusinya tidak dibongkar, percuma saja. Ini harus diusut sampai tuntas,” ujar Husin.
Dengan nada tegas, ia menutup pernyataannya dengan harapan agar kasus ini menjadi pembelajaran bersama sekaligus titik balik dalam memperkuat supremasi hukum lingkungan di Kalimantan Timur.
“Batu bara memang menggiurkan, tapi jangan sampai kita korbankan hutan demi kepentingan segelintir orang. Harus ada ketegasan supaya jadi pelajaran untuk semua,” tuturnya.
Kasus ini, bagi Husin Djufri, bukan semata persoalan hukum dan sumber daya alam. Lebih dari itu, ia menempatkannya sebagai persoalan moral dan keberlanjutan. Sebuah peringatan keras bahwa di tengah derasnya arus eksploitasi, negara harus hadir melindungi yang tak bersuara yaitu hutan dan generasi masa depan.