Kukar, Natmed.id – Lonjakan angka kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) menjadi perhatian dari sejumlah elemen masyarakat. Pasalnya Kabupaten terkaya dengan hasil batu bara yang melimpah tercatat angka kemiskinan yang terus bertambah.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Mulawarman (Unmul) Sri Murlianti, turut prihatin dengan angka kemiskinan yang tinggi di Kukar. Menurutnya fenomena ini sudah berlangsung lama.
”Berarti ada yang salah dalam proses pembangunan di Kukar. Pembangunan yang tidak tepat sasaran. Banyak korporasi nasional-inetrnasional, sumber daya alam dikeruk habis-habisan tetapi masyarakatnya tetap miskin,” bebernya saat dihubungi, Rabu (24/11/2021).
Menurutnya, bisa jadi perencanaan pembangunan yang kurang menyasar atau kurang berpihak pada kelas-kelas bawah. Bisa jadi perencanaan sudah bagus tetapi implementasinya yang kurang baik. Bisa jadi pembangunan di Kukar hanya menguntungkan kelas-kelas sosial tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
“Tata kelola pembangunan yang bermasalah, dari zaman dulu. Infrastruktur sangat buruk, pengembangan SDM seret, budaya nepotisme mendarah daging. Pandemi menambah parah,” tegasnya.
Lebih lanjut Sri menuturkan, kemiskinan bisa terjadi oleh beberapa sebab. Seperti individual mungkin karena skill masyarakat yang rendah, maka ia tidak bisa bersaing di dunia kerja. Bisa juga orang malas mengasah diri menyesuaikan perkembangan zaman, atau problem mental yang berkaitan dengan kualitas individual.
Kemiskinan bisa juga disebabkan oleh kondisi-kondisi sosial yang timpang alias problem sistem sosial yang tidak adil. Misalnya budaya nepotisme, hubungan kekerabatan atau perkoncoan, sehingga skill yang bagus kalah dengan tradisi nepotisme.
Selain itu struktur yang tidak adil, dimana SDA seharusnya bisa menjamin kesejahteraan yang sama, karena pengelolaan yang tidak fair sehingga hanya kelompok-kelompok tertentu yang mendapatkan keuntungan. Problem struktur sosial yang paling serius adalah budaya korupsi yang mendarah daging.
“Sistem eksplorasi tambang misalnya, pembagian devisanya bagaimana. Di daerah pengelolaannya seperti apa, digunakan untuk proses pembangunan yang berpihak pada rakyat atau sekelompok elit?” imbuhnya.
Menurutnya, terlihat jelas kondisi kemiskinan di Kukar, apalagi kalau kita melihat kecamatan-kecamatan di luar Tenggarong. Infrastruktur yang buruk, banjir, ruang hidup yang rusak oleh tambang, sekolah-sekolah pedalaman yang kekurangan guru. Kelihatan perpaduan pembangunan yang setengah hati dan tidak menyasar pada kantong-kantong masyarakat miskin.
Lebih lanjut menurutnya, harus ada penelitian yang sangat detail untuk melihat faktor-faktor apa yang aktual menyebabkan tingginya kemiskinan di Kukar. Dari sisi individual, tentu sistemnya pendidikan yang menjamin semua warga bisa memiliki akses pendidikan yang baik, pusat-pusat pelatihan skill masyarakat yang link and match dengan kebutuhan pasar kerja. Mekanisme penerimaan naker yang fair juga harus ditegakkan, untuk menjamin semua warga negara bisa memperoleh pekerjaan yang layak.
“Usaha yang tak kalah penting adalah perbaikan sistemnya. Pembangunan yang direncanakan harus berdasarkan perencanaan partisipatif untuk memberi masukan, dipertimbangkan dan menjadi bagian dari perencanaan program kemiskinan. Program yang elitis dirumuskan di belakang meja harus segera ditinggalkan, karena terbukti tidak bisa menyentuh dan menyelesaikan problem kemiskinan,” bebernya.
Good governance yang baik, yang bisa menjamin proses partisipatif jika konsisten dijalankan akan secara bertahap mengurangi kemiskinan. Bisa jadi selama ini program-program dibuat kurang partisipatif, dirumuskan para elit tanpa mendalami kondisi-kondissi riil di lapangan sehingga tidak tepat sasaran.
“Yang tak kalah penting adalah mengikis budaya korupsi-nepotis yang menggerogoti banyak sekali program-program pembangunan yang bagus implementasinya tidak jalan, karena melibatkan orang-orang yang mungkin kurang kompeten atau transparansi dana yang buruk,” tegasnya.