Samarinda, Natmed.id – Program biaya pendidikan gratis atau Gratispol dari Pemprov Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menuai sorotan setelah muncul keluhan mahasiswa terkait biaya hidup yang belum terakomodasi.

Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji menegaskan persoalan tersebut membutuhkan peran pemerintah kabupaten/kota karena kewenangan dan dukungan anggarannya berbeda.
Seno menyebut sejumlah mahasiswa terutama dari Kutai Barat (Kubar) telah menerima bantuan pembayaran UKT dari provinsi. Namun, banyak yang masih kesulitan menutupi biaya hidup selama kuliah di Samarinda.
“Provinsi sudah menanggung UKT melalui Gratispol, tapi untuk mahasiswa dari daerah seperti Kubar, keluhan soal pembiayaan tempat tinggal masih muncul,” kata Seno usai mengisi kuliah umum di UINSI Samarinda pada Jumat 28 November 2025.
Seno menjelaskan, persoalan tersebut sebenarnya dapat dibantu oleh pemda masing-masing. Ia mendorong kabupaten/kota menggunakan fasilitas yang sudah ada, seperti asrama mahasiswa, serta memanfaatkan program beasiswa dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka.
“Pemerintah kabupaten dan kota punya asrama di Samarinda, itu bisa dipakai. Ada juga perusahaan yang memiliki dana CSR untuk beasiswa. Itu bisa dikelola kabupaten untuk membantu living cost mahasiswa daerahnya,” ujar Seno.
Pemprov memastikan Gratispol tetap berjalan pada 2026 meskipun tahun depan pemerintah pusat menerapkan pemotongan dana transfer daerah. Program ini sudah disiapkan anggarannya sebesar Rp1,3 triliun untuk membiayai UKT semester 1 hingga semester 8.
Sementara itu, Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Setda Provinsi Kaltim Dasmiah menegaskan bahwa pemberian bantuan pendidikan ini merupakan inovasi daerah karena kewenangan pendidikan tinggi berada di pemerintah pusat.
“Bantuan pendidikan ini adalah inovasi Pemprov Kaltim karena statusnya bantuan, bukan beasiswa,” kata Dasmiah.
Ia merinci sejumlah syarat penerima sesuai Pergub Nomor 24 Tahun 2025. Di antaranya, penerima harus ber-KTP dan KK Kaltim minimal tiga tahun, serta batas usia 25 tahun untuk S1, 35 tahun untuk S2, dan 40 tahun untuk S3. Namun syarat usia dikecualikan bagi guru dan dosen.
“Yang kami cover adalah UKT, berbeda dengan living cost. Untuk biaya hidup, itu menjadi ranah kabupaten/kota karena mereka juga punya program beasiswa daerah,” ujarnya.
Menurutnya, jika provinsi memberikan bantuan yang mencakup biaya hidup, program tersebut dapat berbenturan dengan kewenangan pendidikan dan tumpang tindih dengan beasiswa kabupaten/kota.
“Biaya pendidikan itu yang bisa kami bantu. Jika mencakup biaya hidup, justru akan masuk kategori berbeda dan bukan kewenangan provinsi,” kata Dasmiah.
