
Samarinda, natmed.id – Anggota DPRD Kalimantan Timur Firnadi Ikhsan menegaskan pentingnya langkah konkret dalam menyikapi persoalan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan di daerah.
Ia menyoroti masih maraknya kerusakan lingkungan, khususnya bekas lubang tambang (void) yang belum dipulihkan, sebagai bukti lemahnya penegakan pengelolaan pascatambang di Kalimantan Timur.
Firnadi menggarisbawahi bahwa para pelaku tambang seharusnya tunduk pada komitmen pengelolaan lingkungan sebagaimana tertuang dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dokumen tersebut, menurut dia, bukan sekadar formalitas administratif, melainkan merupakan kontrak moral dan hukum yang wajib ditaati dalam setiap tahapan operasional pertambangan.
“Ini tentu terkait para penambang yang seharusnya melaksanakan program pengelolaan lingkungan sesuai dengan perjanjian dalam bentuk AMDAL,” ujarnya, Senin, 14 Juli 2025.
Firnadi menilai, kondisi di lapangan menunjukkan adanya pembiaran terhadap kerusakan lingkungan yang ditinggalkan oleh perusahaan tambang. Lubang-lubang besar bekas pengerukan masih menganga, menyebabkan kerusakan ekosistem serta membahayakan masyarakat sekitar.
Ia menilai situasi ini tidak hanya mencerminkan kelalaian pelaku usaha, tetapi juga lemahnya peran negara dalam melakukan pengawasan.
Maka dari itu, ia mendesak pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi untuk lebih serius dan tidak ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan tambang yang tidak menjalankan kewajiban pascatambang.
Ia menyebut bahwa penegakan hukum lingkungan harus dijadikan prioritas, termasuk dalam hal menutup void serta memulihkan lahan yang rusak.
“Maka kita harus serius penegakan lingkungannya untuk menutup void, lubang-lubang tambang, memperbaiki kerusakan-kerusakan. Ini yang hari ini menjadi PR pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi,” tuturnya.
Firnadi pun tidak menampik bahwa konsekuensi dari kerusakan lingkungan akibat tambang yang tak dikelola dengan baik kini ditanggung oleh masyarakat luas. Beban sosial, kesehatan, hingga kerusakan sumber daya alam yang sebelumnya menjadi tumpuan hidup warga, menjadi warisan pahit dari praktik industri ekstraktif yang lepas kontrol.
“Akhirnya kita yang sekarang menikmati kerusakannya,” imbuhnya.
Untuk itu, ia mendorong agar Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur bersikap lebih selektif dalam menerbitkan izin lingkungan.
Ia mengingatkan bahwa setiap pemberian izin harus disertai dengan evaluasi mendalam terhadap rencana pengelolaan lingkungan yang diajukan perusahaan.
Jika tidak ada kejelasan dalam rencana penyelesaian akhir dampak tambang, maka izin sebaiknya ditahan atau bahkan ditolak.
“Pemerintah provinsi dalam hal ini Dinas Lingkungan itu di awal harus benar-benar selektif dalam memberikan izin lingkungan. Jika memang tidak ada penjelasan atau gambaran penyelesaian akhir dari pengelola tambang dan pengolah lingkungan, maka ya pikir-pikir kalau memberikan izin,” sebutnya.
Firnadi berharap, dengan langkah pengawasan yang ketat dan regulasi yang ditegakkan tanpa kompromi, Kalimantan Timur dapat keluar dari bayang-bayang kerusakan lingkungan yang selama ini membayangi.
Ia menginginkan model pembangunan yang tak hanya mengedepankan keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga menjamin keberlanjutan ekologi bagi generasi mendatang.