Samarinda, natmed.id – Pemerintah memberlakukan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) untuk komoditas beras dengan tujuan menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen.
Namun, bagi para pelaku distribusi dan petani, kebijakan ini justru menjadi batu sandungan dalam rantai produksi dan distribusi pangan nasional.
H Nasir, distributor utama beras di Samarinda yang mengelola Toko Hery Jaya NSR, menyampaikan keluhannya atas dampak langsung dari kebijakan tersebut.
Ia menilai HET tidak hanya mengekang gerak petani dalam meningkatkan kualitas produksi, tetapi juga memukul kelangsungan bisnis distributor seperti dirinya.
“Dampaknya, petani enggan produksi karena terbentur HET. Kita yang distributor juga kena dampak, termasuk masyarakat,” kata Nasir saat ditemui di gudang distribusinya, Rabu, 23 Juli 2025.
Menurut Nasir, HET membuat petani kehilangan semangat untuk berinovasi. Ketentuan harga yang dipatok dari atas tidak memberi ruang bagi petani untuk mendapatkan nilai tambah dari beras bermutu tinggi yang dihasilkan.
Situasi ini, kata dia, menggerus minat petani untuk menanam varietas unggul dan berkualitas. Mata rantai bisnis pun kian pendek.
Lebih jauh, Nasir mengungkapkan bahwa sebelum kebijakan HET diberlakukan, ia mampu mendatangkan sekitar 12 ribu karung beras setiap pekan dari Sulawesi untuk didistribusikan ke berbagai daerah. Namun kini, jumlah tersebut merosot tajam dan hanya mencapai 3.000 karung per minggu.
Penurunan pasokan itu bukan semata karena berkurangnya permintaan, melainkan keterbatasan stok di tingkat petani dan ketatnya regulasi harga. Padahal, menurut Nasir, para pelanggan tetap menunjukkan permintaan tinggi.
“Saya punya pelanggan ratusan yang tersebar di 9 kabupaten kota. Semuanya teriak butuh beras, sementara terbentur aturan karena tidak sesuai dengan HET,” bebernya.
Dalam situasi yang semakin rumit itu, beredar pula isu mengenai beras oplosan yang disebut-sebut menjadi jalan pintas bagi oknum pedagang untuk mengejar keuntungan. Namun Nasir menampiknya.
“Saya tidak yakin kalau ada distributor yang mau mengoplos mereknya. Karena, dampak luar biasa. Merek yang sudah kita bina puluhan tahun menjadi rusak. Siapa yang mau merusak merek sendiri?” tutur Nasir dengan nada tegas.
Bagi Nasir, tindakan seperti itu justru mencederai prinsip dasar usaha pangan yang dibangun dengan reputasi dan kepercayaan. Ia menyesalkan jika ada pihak yang secara gegabah menggeneralisasi kesalahan segelintir pelaku kepada seluruh distributor.
Melihat kondisi yang semakin pelik, Nasir berharap pemerintah membuka ruang dialog dengan para pelaku usaha dan petani, agar kebijakan yang diterapkan tidak justru menjadi penghambat distribusi pangan nasional.
Ia juga mendorong pemerintah untuk menyusun regulasi yang sah dan tegas, termasuk menetapkan legalitas merek secara jelas guna melindungi pelaku usaha yang bekerja secara profesional.
Selain itu, Ia juga menilai bahwa kebijakan harga perlu mempertimbangkan dinamika di lapangan, bukan hanya berdasarkan angka statistik atau narasi ekonomi makro.
“Kami semua ingin harga stabil. Tapi stabilitas itu tidak boleh membunuh pelaku produksi dan distribusi. Tanpa mereka, masyarakat tetap kesulitan mendapatkan beras,” tutupnya.