Samarinda, Natmed.id – Harga beras, cabai dan daging ayam berpotensi menjadi pemicu inflasi di Kalimantan Timur (Kaltim) pada akhir 2025, terutama menjelang Natal dan Tahun Baru. Sejumlah komoditas pangan tersebut masuk dalam daftar rawan inflasi berdasarkan pemantauan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Kaltim.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kaltim Sri Wahyuni mengatakan hasil analisis peringatan dini (early warning system) menunjukkan beberapa komoditas pangan berisiko mendorong kenaikan inflasi apabila tidak segera diintervensi.
“Yang perlu diwaspadai antara lain beras, minyak goreng, daging ayam, cabai, bawang merah, tomat, hingga angkutan udara. Ini sudah terdeteksi berpotensi memberi tekanan inflasi,” kata Sri Wahyuni saat High Level Meeting TPID dan TP2DD Kaltim di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Kamis 18 Desember 2025.
Ia menjelaskan, meski secara umum inflasi Kaltim masih terkendali dan berada di bawah angka nasional, tekanan inflasi cenderung meningkat pada Desember akibat faktor musiman.
Inflasi Kaltim secara year on year tercatat sebesar 2,28 persen, lebih rendah dibanding inflasi nasional yang mencapai 2,72 persen. Sementara inflasi year to date Kaltim berada di angka 1,96 persen.
Namun, untuk Desember, TPID memproyeksikan inflasi di sejumlah daerah rujukan berpotensi melampaui target jika tidak dilakukan pengendalian harga. Di Kota Samarinda, inflasi diperkirakan berada pada kisaran 0,69 hingga 0,83 persen, dengan komoditas penyumbang utama beras, daging ayam, cabai rawit, bawang merah, ikan layang, dan angkutan udara.
“Kalau tidak ada intervensi, inflasinya bisa lebih tinggi dari target 0,51 persen,” ujarnya.
Kondisi serupa juga diperkirakan terjadi di Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Di Balikpapan, komoditas yang berpotensi mendorong inflasi meliputi minyak goreng, daging ayam, cabai rawit, bawang merah, bawang putih, tomat, dan angkutan udara.
Sri Wahyuni menilai, tingginya ketergantungan pasokan pangan dari luar daerah masih menjadi tantangan utama pengendalian inflasi di Kaltim. Selain itu, produksi pertanian di sektor hulu belum sepenuhnya berkelanjutan dan distribusi logistik di wilayah hulu masih terkendala.
Untuk menekan risiko inflasi, TPID Kaltim telah melakukan berbagai langkah intervensi, mulai dari operasi pasar sebanyak 27 kali, pelaksanaan gerakan pangan murah sebanyak 493 kali di kabupaten/kota, pemantauan harga dan stok secara rutin, hingga penyaluran cadangan pangan provinsi ke daerah rawan pangan.
“Kita juga memperkuat sektor hulu, salah satunya lewat pengembangan desa korporasi ternak dan pembangunan rumah produksi pakan ternak,” jelasnya.
Selain itu, Pemprov Kaltim meluncurkan aplikasi Mandau Kaltim untuk memantau pergerakan harga komoditas dan potensi inflasi secara digital dan real time.
“Dengan sistem ini, kita bisa lebih cepat menentukan kapan perlu operasi pasar, subsidi transportasi, atau intervensi lainnya,” kata Sri Wahyuni.
Menjelang Nataru, TPID Kaltim merekomendasikan operasi pasar murah dilakukan lebih intensif, pengawasan distribusi diperketat, serta ketersediaan pasokan pangan dijaga agar harga tetap stabil.
