Samarinda, Natmed.id – Pemangkasan fiskal tahun 2026 membuat Dinas Pariwisata (Dispar) Kalimantan Timur merombak prioritas kerja. Dari usulan awal Rp38 miliar dalam KUA-PPAS, belanja pariwisata Kaltim turun menjadi Rp20 miliar di R-APBD 2026, mengikuti kebijakan efisiensi akibat anjloknya dana transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp6 triliun.
Penurunan pendapatan membuat struktur APBD Kaltim 2026 menyusut signifikan dari Rp21,35 triliun menjadi Rp15,15 triliun. Seluruh perangkat daerah diminta memangkas kegiatan dan hanya mempertahankan program yang dinilai esensial.
Di sektor pariwisata, kondisi ini memaksa perubahan strategi, dari yang sebelumnya mencakup berbagai paket kegiatan, kini diarahkan pada perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) dan peningkatan kualitas desa wisata berbasis digital.
Kepala Dispar Kaltim Ririn Sari Dewi menegaskan bahwa penyusutan anggaran membuat pihaknya menahan sebagian program non-urgent dan mengarahkan tenaga serta pembiayaan ke dua fokus utama: perlindungan HKI untuk produk budaya dan digitalisasi promosi destinasi.
“Kami harus memprioritaskan yang paling berdampak. Desa wisata tetap kita dorong karena menjadi program unggulan melalui Jospol,” kata Ririn dalam kegiatan Bincang-Bincang Wisata di Kapal Wisata Mahakam, Minggu, 7 Desember 2025.
Penguatan HKI menjadi langkah perlindungan terhadap potensi budaya Kaltim, terutama yang rentan diklaim pihak luar. Program ini meliputi fasilitasi pendaftaran hak cipta, merek, hingga desain industri melalui kolaborasi dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM. “HKI ini penting agar kearifan lokal tidak mudah diambil pihak asing,” ujarnya.
Sementara itu, digitalisasi desa wisata diarahkan pada peningkatan konektivitas internet, penguatan platform promosi, serta kolaborasi dengan konten kreator lokal. Minimnya anggaran membuat Dispar mencari dukungan dari sektor swasta, BUMN, dan perbankan melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
“CSR bisa diarahkan untuk internet desa dan infrastruktur digital yang dibutuhkan destinasi,” kata Ririn.
Kolaborasi lintas sektor ini tak hanya menyasar teknologi, tetapi juga fasilitas dasar seperti toilet, musala, jalur akses, titik foto, hingga jaringan internet publik. Dispar menilai fasilitas tersebut menjadi syarat peningkatan pengalaman wisata yang mampu menggerakkan kunjungan dan menaikkan pendapatan daerah di tengah keterbatasan fiskal.
Saat ini Kaltim memiliki 105 desa wisata di 10 kabupaten/kota. Meski jumlahnya besar, sebagian destinasi belum populer akibat minimnya promosi. Salah satu contoh adalah Desa Wisata Pantai Marang di Kutai Timur.
Ririn menyebut desa tersebut memiliki potensi besar namun belum banyak dikenal. “Pantainya bagus sekali, tapi masih sedikit yang tahu. Perlu kolaborasi untuk ekspos,” jelasnya.
Beberapa destinasi kini mulai mendapat perhatian nasional, seperti Tapak Raja di Penajam Paser Utara, Desa Pela di Kutai Kartanegara, serta kawasan Bontang Kuala dan Malahing di Kota Bontang.
Untuk memperkuat kualitas produk wisata, Dispar juga menggandeng Bank Indonesia dalam pengembangan ekonomi kreatif desa, termasuk penataan kampung tematik, peningkatan kualitas UMKM, dan pembinaan Kampung Tenun sebagai salah satu lokasi yang tengah disiapkan untuk dikembangkan.
Di tingkat kabupaten/kota, Dispar menekankan perlunya perbaikan fasilitas penunjang wisata sebagai bagian dari standar destinasi. “Kalau fasilitasnya baik, wisatawan nyaman dan potensi pendapatan daerah juga naik,” tutup Ririn.
