Samarinda, Natmed.id – Seorang remaja putri yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Samarinda menjadi korban tindak kekerasan seksual. Orang yang diduga melakukan perbuatan bejat itu adalah pamannya sendiri sejak 2020 lalu.
Kasus ini terungkap setelah korban menceritakan kejadian yang dialaminya kepada salah seorang teman dekatnya. “Jadi (korban) ini cerita saya bahwa dirinya telah menjadi korban rudapaksa yang dilakukan oleh pamannya sendiri,” ujar salah seorang teman korban, Jumat (14/6/2024).
Cerita itu berlanjut ke seorang temannya lagi yang kenal dekat dengan Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Kalimantan Timur (TRC PPA Kaltim) Rina Zainun.
Mendengar cerita itu, Rina menemui untuk menggali lebih lanjut informasi tentang kejadian yang dialami korban. Hasilnya diketahui, tindak kekerasan seksual telah dialami korban sejak usia 13 tahun.
“Pertama kali dilakukan pelaku (paman korban) saat ayah korban bekerja dan adik korban sedang sakit. Pamannya ini datang ke rumah, dan langsung masuk ke kamar, mengatakan akan memberikan uang Rp50 ribu, jika korban melakukan persetubuhan, tetapi korban menolak,” jelasnya.
“Lantaran korban menolak, akhirnya si paman memaksa melakukan hal itu dan korban takut. Hingga hanya bisa pasrah,” sambungnya.
Perbuatan yang dilakukan pamannya tersebut terakhir dilakukan pada bulan April 2024 lalu. Sejak itu hingga saat ini, pascapulang sekolah, korban tak langsung pulang ke rumah karena takut dengan sang paman.
“Sejak dua bulan lalu, korban tidak langsung pulang ke rumah setelah melakukan pembelajaran di sekolah. Tetapi ke rumah teman akrabnya. Saat malam dan ayahnya sudah pulang kerja, baru dia pulang,” ucapnya.
Dampak lain dari tindak kekerasan seksual, korban seringkali mendapat perundungan atau bullying dari teman-temannya di sekolah. Hal ini terkait dengan fisik korban. “Dia juga sering di-bully oleh teman-temannya yang ada di sekolah,” lanjut Rina.
Hingga saat ini, Tim TRC PPA Kaltim melakukan pendampingan terhadap korban untuk melakukan pengaduan ke UPTD PPA Kota Samarinda. Harapannya agar segera mendapatkan asesment serta pendampingan secara psikologis terhadap korban.
“Karena saat ini, psikis dan mental dari korban sangat terguncang menyebabkan korban tidak berani pulang ke rumah saat siang hari atau saat ayah korban belum ada di rumah,” ungkapnya.
“Kalau tindakan dari hukumnya, tergantung dari setelah asesment atau pendampingan dari UPTD PPA Kota Samarinda,” sambungnya.
Terakhir, Rina Zainun mengimbau kepada ayah, kakek, paman untuk menjaga anak perempuan di lingkungan sekitarnya. Terlebih kepada keluarga sendiri. Sebab, orang tua laki-laki menjadi garda terdepan untuk melindungi anak perempuan.
“Ingat cinta pertama anak dari saat lahir itu adalah ayah dan saudara bukan orang lain di luar lingkungan keluarga. Kalian yang diharapkan melindungi dan menyayangi, jangan sampai kalian yang merusak masa depan mereka,” imbaunya.
“Saya mengharapkan kepada pemerintah bisa menghilangkan yang namanya (perlindungan) HAM untuk para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Lakukan yang namanya kebiri kimia karena mereka melanggar HAM untuk anak-anak, menghancurkan masa depan mereka,” pungkasnya.