Pasuruan, Natmed.id – Permintaan tinggi terhadap batik “Pakrida” khas Kabupaten Pasuruan membuat salah satu pembatik asal Desa Kemantren Rejo, Kecamatan Rejoso, kebanjiran pesanan. Adalah Jumiati, pembatik lokal yang sejak Maret 2025 lalu tak henti menerima order dari para aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemkab Pasuruan.
Dalam sebulan, Jumiati mampu menuntaskan sekitar 60 lembar batik tulis dengan motif dan warna khas daerah. Seluruh hasil karyanya merupakan batik tulis murni yang dibuat secara manual tanpa bantuan mesin. “Pesanan datang terus, semuanya batik tulis karena tampilannya lebih indah dan bisa awet sampai 10 tahun,” ujarnya saat ditemui di rumahnya, Senin 13 Oktober 2025.
Ia menjelaskan, satu lembar kain batik biasanya diselesaikan dalam waktu empat hingga tujuh hari. Namun, jika pesanan meningkat, Jumiati dibantu beberapa karyawannya yang sudah memiliki tugas masing-masing.
“Kalau pesanan banyak, kami kerja bareng. Ada yang bagian menggambar, mencanting, mewarnai, sampai pengemasan,” terangnya.
Menurutnya, pengerjaan batik tulis membutuhkan ketelatenan tinggi agar hasilnya rapi dan bernilai seni. Ia mengaku tetap menjaga kualitas dengan memastikan setiap tahapan proses dilakukan dengan hati-hati. “Meskipun dikejar waktu, saya tidak mau asal-asalan karena kualitas tetap nomor satu,” kata Jumiati menegaskan.
Soal harga, Jumiati membanderol produknya antara Rp275 ribu hingga Rp375 ribu per lembar, tergantung jenis kain dan tingkat kesulitan motif. “Kalau kain primis sima harganya Rp350 ribu, karena bahannya paling lembut dan hasil batiknya halus,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan rasa syukur atas kepercayaan ASN Kabupaten Pasuruan terhadap hasil karyanya. Menurutnya, permintaan ini turut membantu perekonomian pengrajin batik di desanya yang mayoritas bekerja secara rumahan. “Alhamdulillah, dari pesanan ASN ini banyak tetangga ikut bekerja. Jadi bisa saling bantu,” ucapnya.
Selain membuat batik, Jumiati juga memberi edukasi kepada pembeli tentang cara merawat kain agar warnanya tetap awet. Ia menekankan pentingnya mencuci batik dengan cairan lembut seperti klerek atau sampo, bukan deterjen, serta menghindari penjemuran langsung di bawah matahari. “Kalau dicuci pakai deterjen, warnanya cepat pudar,” pesannya.
Ke depan, Jumiati berharap dukungan terhadap industri batik lokal terus meningkat. Ia ingin hasil karya pengrajin daerah bisa semakin dikenal luas, tidak hanya di kalangan ASN tetapi juga masyarakat umum. “Semoga batik khas Pasuruan makin digemari dan bisa bersaing di pasar nasional,” pungkasnya.