Samarinda, Natmed.id – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menetapkan 14 titik sedimen di Sungai Kelai dan Sungai Segah, Berau, sebagai lokasi penambangan pasir. Kebijakan ini sekaligus menjadi langkah normalisasi sungai yang dangkal dan mengganggu transportasi masyarakat.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim Bambang Arwanto mengatakan keputusan itu lahir dari koordinasi intens dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau. Dua sungai tersebut mengalami penumpukan sedimen yang signifikan hingga menciptakan pulau-pulau kecil di aliran sungai.
“Memang banyak permohonan penambangan pasir di Sungai Kelai dan Sungai Segah. Saat air surut, kedalamannya tinggal satu meter saja, bahkan ada lokasi yang saking dangkalnya bisa dipakai orang main bola,” ujar Bambang saat di temui di Kantor Gubernur Kaltim, Selasa 9 Desember 2025.
Di lapangan ditemukan 12 titik sedimen dangkal, tapi setelah disesuaikan dengan tata ruang Pemkab Berau, ditetapkan 14 titik sebagai lokasi legal penambangan.
Bambang menjelaskan bahwa kondisi dangkal tersebut membuat alur sungai tidak lagi berfungsi optimal sebagai jalur transportasi warga. Pemkab Berau tidak memiliki anggaran untuk pengerukan penuh, sehingga penambangan pasir diarahkan sebagai bagian dari normalisasi.
“Pemerintah tidak punya dana untuk mengeruk semuanya. Maka salah satu cara realistis adalah mengizinkan penambangan di titik sedimen tadi, sehingga sambil menambang, sungainya ikut dikeruk. Warga Berau juga butuh pasir untuk pembangunan, jadi dua kebutuhan ini bisa bertemu,” kata Bambang.
Ia menekankan bahwa penambangan harus memperhatikan fungsi ekologi sungai. “Sungai punya fungsi ekologi, transportasi, dan ruang hidup yang kita lakukan adalah menyinkronkan semuanya, bukan mengurangi salah satunya,” ujarnya.
Bambang menyebut terdapat tujuh perusahaan dan koperasi yang sudah mengajukan izin penambangan pasir di Berau. Pemerintah mempercepat proses perizinan sesuai arahan Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud namun tetap mengikuti prosedur lengkap, termasuk OSS, Amdalnet, rencana reklamasi, dan rencana kerja tambang.
“Walaupun ini galian C, tetap saja izinnya berisiko tinggi. Prosedurnya panjang, sekitar 400 hari kerja. Tapi kita percepat tujuh izin yang terhambat, karena kebutuhan normalisasi sudah mendesak,” katanya.
Selain itu, Pemprov akan membina penambang tradisional agar menambang sesuai standar lingkungan. “Nanti mereka akan kami beri izin resmi dan dibina supaya menambang dengan benar, tetap punya dimensi lingkungan,” ujar Bambang.
Ia menambahkan bahwa model ini mirip pengelolaan sedimen di Sungai Mahakam. “Prinsipnya sama diarahkan ke sedimen. Jadi normalisasi berjalan, kebutuhan pasir terpenuhi, dan PAD masuk,” ucapnya.
Langkah ini diharapkan membuka kembali alur transportasi sungai, menjaga fungsi ekologi, dan mendukung pembangunan daerah sekaligus pemenuhan mineral strategis.
