​Jakarta,Natmed.id – Pada triwulan II tahun 2023, utang luar negeri (ULN) Indonesia turun menjadi 396,3 miliar dolar AS, dimana pada triwulan I-2023 sebesar 403,2 miliar dolar AS.
Dengan perkembangan tersebut, ULN Indonesia secara tahunan mengalami penurunan pertumbuhan 1,4 persen (yoy), selanjutnya pada triwulan sebelumnya sebesar 1,9 persen (yoy). Kontraksi (penurunan) pertumbuhan ULN ini terutama bersumber dari penurunan ULN sektor swasta.
Begitu juga ULN pemerintah sesuai data dari Bank Indobesia (BI), Selasa, 15 Agustus 2023, turun dibanding triwulan lalu. Posisi ULN pemerintah pada akhir triwulan II 2023 tercatat 192,5 miliar dolar AS, dibandingkan posisi sebelumnya sebesar 194,0 miliar dolar AS, atau secara tahunan tumbuh 2,8 persen (yoy).
Penurunan posisi ULN pemerintah secara triwulan menurut Erwin Haryono, Derektur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia disebabkan oleh pembayaran neto pinjaman luar negeri dan global bond yang jatuh tempo.
Sementara itu, penempatan investasi portofolio di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik meningkat, seiring dengan sentimen positif pelaku pasar global yang tetap terjaga.
“Untuk itu, pemerintah tetap berkomitmen mengelola ULN secara hati-hati, efisien, dan akuntabel, termasuk menjaga kredibilitas dalam memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga secara tepat waktu,”ungkap Erwin Haryono kepada MSI Group, Selasa (15/8/2023).
Menurutnya posisi ULN pemerintah relatif aman, dan terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,8 persen dari total ULN pemerintah.
Dikatakannya, sebagai salah satu komponen dalam instrumen pembiayaan APBN, pemanfaatan ULN pemerintah terus diarahkan untuk mendukung upaya pemerintah dalam pembiayaan sektor produktif dan belanja prioritas. Khususnya dalam rangka menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetap solid di tengah ketidakpastian perekonomian global.
Dukungan ULN tersebut mencakup antara lain sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial 24,1 persen dari total ULN pemerintah, administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 18,0 persen, jasa pendidikan 16,8 persen, konstruksi 14,2 persen, serta jasa keuangan dan asuransi 10,1 persen.