
Samarinda, natmed.id – Polemik kerusakan jalan di Samarinda tidak berhenti pada lubang-lubang aspal yang menganga atau kemacetan berkepanjangan yang ditimbulkannya.
Masalah ini menyingkap persoalan yang lebih dalam yakni lemahnya tata kelola infrastruktur serta perencanaan tata ruang yang minim koordinasi lintas sektor.
Belum lama ini, pada Kamis, 10 Juli 2025, Podcast Suara Zetizen mengulas persoalan ini secara mendalam bersama tiga narasumber dari latar belakang berbeda, antara lain, Kepala Pemeliharaan Jalan dan Jembatan DPUPR Kota Samarinda Hendra Gunawan, Anggota Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Timur Subandi, dan akademisi dari Fakultas Teknik Universitas Mulawarman, M Jazir Alkas.
Diskusi yang berlangsung mencerminkan kesenjangan antara kebutuhan masyarakat atas jalan yang layak dan kapasitas fiskal serta kelembagaan pemerintah daerah dalam menanganinya.
Tidak hanya bicara soal teknis pemeliharaan, para pembicara juga mengurai bagaimana lemahnya perencanaan jangka panjang berdampak langsung pada kualitas dan daya tahan infrastruktur jalan.
Subandi, yang kini menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur, menuturkan bahwa kebutuhan infrastruktur jalan menjadi aspirasi utama masyarakat yang ia temui sejak masih menjabat di DPRD Kota Samarinda.
“Kalau bicara anggaran untuk infrastruktur jalan, setiap kali kita reses, mayoritas aspirasi masyarakat yaitu semenisasi jalan maupun jalan,” katanya.
Menurutnya, permintaan itu tidak surut hingga kini. Bahkan setelah berpindah ke tingkat provinsi, infrastruktur jalan tetap menjadi isu utama yang disuarakan warga dalam setiap kunjungan reses. Ini menggambarkan betapa mendasarnya kebutuhan akan akses jalan yang memadai di tengah pertumbuhan kota yang pesat.
Subandi mengungkapkan bahwa saat dirinya masih duduk di DPRD Kota Samarinda, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Samarinda pernah menghitung kebutuhan anggaran infrastruktur sebesar Rp7 triliun. Sementara itu, kemampuan APBD kota jauh dari angka tersebut.
Sebagai respons atas keterbatasan fiskal itu, pada tahun 2024 Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyalurkan bantuan keuangan (Bankeu) sebesar Rp580 miliar.
Bantuan ini tidak seluruhnya dialokasikan untuk pembangunan jalan, tetapi dinilai cukup untuk mendorong perbaikan infrastruktur jalan lingkungan maupun jalan protokol di Samarinda.
“Alhamdulillah banyak sekali peningkatan infrastruktur jalan,” ujar Subandi.
Namun upaya perbaikan jalan tidak cukup jika tidak disertai pengendalian terhadap beban jalan itu sendiri. Salah satu penyebab utama kerusakan adalah kendaraan bertonase besar yang masih melintasi jalan dalam kota yang sebenarnya dirancang untuk kendaraan ringan.
Pemerintah telah merancang jalur khusus untuk kendaraan berat melalui proyek jalan lingkar atau ring road yang menghubungkan Jembatan Mahulu ke Ring Road I M Said. Proyek tersebut, kata Subandi, telah direncanakan sejak lama dan bahkan pada tahun 2025 dianggarkan sekitar Rp400 miliar.
“Itu sudah direncanakan sejak lama, bahkan sebenarnya, di tahun 2025 ini sudah dianggarkan kurang lebih Rp400 miliar untuk akses ring road, ring road 4 ke jalan APT Pranoto supaya kendaraan berat tidak boleh melewati jalur dalam kota,” sebutnya.
Sayangnya, penganggaran itu tertunda pelaksanaannya karena adanya kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat. Akibatnya, kendaraan besar masih bebas melintasi pusat kota, mempercepat degradasi jalan dan menghambat kenyamanan pengguna jalan lainnya.
Subandi berharap agar koordinasi antarinstansi dapat diperkuat untuk memastikan jalur alternatif seperti ring road dapat segera difungsikan.
Masalah jalan di Samarinda, menurut M. Jazir Alkas dari Universitas Mulawarman, tidak bisa dilepaskan dari perencanaan tata ruang yang seringkali tidak sinkron dengan pembangunan infrastruktur.
Ia menyoroti bahwa lemahnya integrasi antara rencana pembangunan kawasan dan analisis kapasitas jaringan jalan telah menjadi penyebab utama terjadinya tekanan berlebih pada infrastruktur yang sudah ada.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa alokasi anggaran untuk pemeliharaan jalan sering kali tidak mencukupi, sementara pelaksanaan pekerjaan kerap mengalami keterlambatan akibat proses pembebasan lahan yang masih tergolong rumit dan memakan waktu.