National Media Nusantara
Tokoh

Ketua JMSI Tegaskan Pelaporan Penulis Opini oleh Rektor USK Bertentangan dengan UU Pers

Teks: Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa

Samarinda, natmed.id – Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), DR Teguh Santosa menegaskan, langkah Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) melaporkan penulis opini ke kepolisian merupakan kekeliruan dalam memahami prinsip dasar kerja jurnalistik di Indonesia.

Ia menilai tindakan tersebut mencederai mekanisme penyelesaian sengketa pers yang telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menurut Teguh, opini yang dimuat dalam media massa merupakan bagian sah dari produk pers. Karena itu, penanganan terhadap keberatan atau ketidakpuasan atas muatan opini tidak bisa serta merta dibawa ke ranah hukum pidana umum, tetapi harus diselesaikan melalui jalur yang telah ditentukan oleh regulasi pers.

“Opini itu diterbitkan di media pers, dan itu bagian dari kerja pers. Maka penyelesaiannya pun harus tunduk pada UU Pers,” ujar Teguh dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa, 3 Juli 2025 di Jakarta.

Pernyataan Teguh tersebut disampaikan menyusul langkah hukum yang diambil Rektor USK, Prof Marwan, yang melaporkan penulis opini di sejumlah media siber ke kepolisian.

Teguh menyebut, persoalan ini telah dibahas secara serius di internal JMSI Pusat, khususnya bersama Bidang Kerjasama Antar Lembaga, mengingat pentingnya menjaga marwah dan kemerdekaan pers dalam menyampaikan kritik dan pandangan di ruang publik.

Sebelumnya, sejumlah pemberitaan di media daring mengangkat tindakan Prof Marwan yang melaporkan penulis opini berjudul Rektor Universitas Syiah Kuala Polisikan Penulis Opini. Kasus ini pun menyita perhatian luas karena menyangkut batas antara kritik akademik dan sikap represif terhadap kebebasan berekspresi.

Lebih jauh, Teguh mengingatkan bahwa Dewan Pers dan Kepolisian RI telah memperbarui Nota Kesepahaman (MoU) yang mempertegas prosedur dalam menyikapi laporan terhadap produk jurnalistik. MoU tersebut mengatur bahwa setiap aduan yang menyangkut pemberitaan harus lebih dulu dikonsultasikan dengan Dewan Pers, bukan langsung ditindaklanjuti melalui jalur pidana.

“Dalam MoU itu dijelaskan, kalau polisi menerima laporan soal pemberitaan, harus dikoordinasikan dulu dengan Dewan Pers. Kalau Dewan Pers menyatakan itu karya jurnalistik, maka penyelesaiannya lewat hak jawab, hak koreksi, atau dilimpahkan ke Dewan Pers,” jelas Teguh.

Ia menambahkan, jika seorang tokoh publik merasa dirugikan oleh isi opini atau pemberitaan, Undang-Undang Pers telah menyediakan mekanisme klarifikasi yang adil dan proporsional, seperti hak jawab atau hak koreksi.

Teguh menilai, jalur pidana semestinya menjadi pilihan terakhir, dan bahkan tidak relevan dalam konteks ini.

“Mestinya sebagai Rektor, beliau tidak menempuh jalan kriminal umum untuk melaporkan penulis opini itu ke Polda, karena ini adalah produk pers,” ujar Teguh.

Ia juga menekankan bahwa ruang hak jawab merupakan wadah yang sah bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas pemberitaan, sehingga tidak ada alasan untuk membawa sengketa tersebut ke aparat penegak hukum secara langsung.

“Barangkali dia (Rektor) merasa tidak diberi kesempatan yang sama. Ya sudah, dia punya hak jawab. Tapi bukan berarti langsung membawa ke jalur pidana,” sambung Teguh.

Meski mengakui bahwa tidak semua aparat penegak hukum memiliki pemahaman menyeluruh tentang mekanisme penyelesaian sengketa pers, Teguh berharap aparat kepolisian menunjukkan kepatuhan terhadap nota kesepahaman yang telah dibuat bersama Dewan Pers.

“Memang tidak semua orang di jajaran kepolisian memahami UU Pers. Tapi mereka harusnya tahu, ada MoU dan mekanismenya jelas,” pungkas Teguh.

Related posts

Sukri Ajak Pemilik Media Online Kaltim Mengayomi Wartawan

natmed

JMSI Banten Salurkan Bantuan untuk Korban Gempa Bumi Pandeglang

Febiana

Menuju Indonesia Emas, Budiman Sudjatmiko Serukan Keadilan dan Kemajuan

salamah

You cannot copy content of this page