
Samarinda, natmed.id – Anggota DPRD Kalimantan Timur Salehuddin menegaskan bahwa pelaksanaan program Transmigrasi 5.0 yang saat ini tengah dipersiapkan oleh Kementerian Transmigrasi harus dilakukan dengan pendekatan yang adil, inklusif, serta mempertimbangkan dinamika sosial yang ada di daerah.
Ia menyoroti perlunya koordinasi antarpemerintah serta pelibatan aktif masyarakat lokal agar program tersebut tidak menimbulkan friksi horizontal di tengah masyarakat.
Program Transmigrasi 5.0 digadang sebagai langkah besar pemerintah dalam merancang ulang pola pembangunan wilayah berbasis perpindahan penduduk secara terencana.
Selain sebagai program sosial, inisiatif ini juga diarahkan menjadi pilar baru perancangan peradaban, khususnya di wilayah-wilayah luar Jawa yang masih memiliki ruang pembangunan yang luas.
Kalimantan Timur, sebagai salah satu daerah tujuan transmigrasi sekaligus lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN), menjadi wilayah yang sangat strategis dan sensitif dalam konteks ini.
Namun, bagi Salehuddin, program sebesar ini tidak bisa hanya dilihat dari kacamata pembangunan semata.
Ia mengingatkan bahwa dalam beberapa kasus sebelumnya, pelaksanaan transmigrasi di sejumlah wilayah Kalimantan Timur kerap menimbulkan ketegangan sosial karena lemahnya komunikasi publik serta tidak adanya keterbukaan dalam pengelolaan informasi, terutama yang menyangkut status lahan dan distribusi manfaat ekonomi.
“Kita sepakat bahwa transmigrasi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun jika tidak dikelola transparan, masyarakat lokal bisa merasa dirugikan,” ujarnya kepada awak media, Senin, 28 Juli 2025.
Salehuddin menilai bahwa pengalaman masa lalu harus menjadi pelajaran penting dalam merumuskan kebijakan ke depan.
Ia menyoroti fakta bahwa belum semua program transmigrasi dijalankan dengan pendekatan koordinatif antara pemerintah pusat, provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota.
Akibatnya, banyak persoalan di lapangan yang akhirnya tidak terselesaikan karena kurangnya satu pemahaman antara aktor pelaksana dan masyarakat penerima.
Menurutnya, konflik sosial yang sering muncul tidak hanya dipicu oleh persoalan teknis, tetapi juga karena minimnya keterlibatan masyarakat lokal sejak awal.
Informasi yang seharusnya menjadi bekal masyarakat untuk memahami maksud dan arah program seringkali tidak sampai secara menyeluruh, bahkan tidak jarang justru menimbulkan prasangka karena masyarakat merasa tidak diberi ruang untuk berpendapat atau mempertanyakan.
“Jangan sampai terjadi kesenjangan sosial karena program yang dianggap hanya menguntungkan pendatang. Masyarakat lokal harus dilibatkan penuh,” tegasnya.
Lebih jauh, Salehuddin menyampaikan bahwa DPRD Kalimantan Timur siap menjadi penghubung antara masyarakat dan pihak pelaksana program.
Ia mendorong agar parlemen daerah menjalankan peran mediasi secara aktif dalam menyerap aspirasi dan menyelesaikan potensi konflik sebelum berkembang menjadi persoalan besar.
Bagi Salehuddin, DPRD bukan sekadar institusi pengawasan, melainkan bisa berfungsi sebagai ruang dialog yang menjembatani kepentingan pusat dan daerah, sekaligus memastikan keadilan berjalan.
Salehuddin menilai bahwa keberhasilan program Transmigrasi 5.0 akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pemerintah serius membangun komunikasi lintas sektor secara konsisten dan terbuka.
Sebab, kata Salehuddin, program tersebut hanya akan berjalan efektif jika masyarakat lokal tidak diposisikan sebagai pihak yang dirugikan atau dikorbankan demi ambisi pembangunan yang bersifat jangka pendek.
Untuk itu, ia kembali menekankan bahwa kemajuan tentu merupakan tujuan bersama, namun perlindungan atas hak-hak masyarakat lokal, terutama terkait kepemilikan lahan dan akses terhadap ruang ekonomi, harus menjadi prioritas utama dalam setiap tahap pelaksanaan kebijakan.