Samarinda, Natmed.id – Program bantuan buku dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menjangkau 10.000 titik perpustakaan desa setiap tahunnya. Namun, distribusi koleksi yang melimpah itu masih dibayangi persoalan klasik. Banyak perpustakaan desa belum memiliki pustakawan tetap untuk mengelolanya.
Pustakawan Ahli Utama Perpusnas Deine Pangalila menjelaskan tiap titik penerima memperoleh sekitar 1.000 judul buku. Bantuan ini tersebar di 37 provinsi dan 451 kabupaten/kota, termasuk 4.927 perpustakaan desa, 1.003 perpustakaan kelurahan, 1.968 taman bacaan masyarakat, serta 2.102 perpustakaan rumah ibadah.
“Skemanya bergilir, jadi kalau tahun ini 10.000 desa sudah menerima, tahun depan desa lain akan dapat giliran. Tidak bisa sekaligus karena anggaran terbatas,” kata Deine saat ditemui usai membuka kegiatan Penguatan Pemberdayaan Perpustakaan Sekolah/Madrasah dan Perguruan Tinggi di Dinas Perpustakaan Samarinda, Kamis 18 September 2025.
Koleksi bantuan ini, menurutnya, tidak hanya untuk desa. Buku juga bisa dikolaborasikan dengan perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi di sekitar wilayah penerima. Tujuannya agar siswa, mahasiswa, hingga warga umum dapat mengakses bacaan secara lebih merata.
Namun persoalan lain muncul. Tidak semua perpustakaan desa memiliki pengelola tetap. Banyak desa hanya menerima buku, tanpa tenaga pustakawan yang bisa menjaga dan mengembangkan koleksi. Karena itu, Perpusnas mendorong kolaborasi dengan sekolah, perguruan tinggi, mahasiswa KKN, hingga komunitas literasi.
“Kepala desa bisa menunjuk guru, mahasiswa, atau pegiat literasi sebagai pengelola sementara. Yang penting koleksi ini benar-benar bisa dimanfaatkan anak-anak dan masyarakat,” lanjut Deine.
Selain bantuan untuk desa, Perpusnas juga tengah menyiapkan distribusi koleksi serupa bagi sekolah rakyat. Meski masih tahap proses, program ini diharapkan memperluas jangkauan akses bacaan ke komunitas pendidikan nonformal.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Samarinda Erhan Yusuf menilai strategi ini penting untuk mengubah cara pandang publik terhadap perpustakaan. Menurutnya, perpustakaan tak boleh lagi dipandang sekadar gudang buku, melainkan ruang adaptif yang membantu masyarakat menghadapi perubahan.
“Perpustakaan harus mampu jadi tempat yang nyaman dan relevan. Kalau koleksi sudah ada tapi tidak dikelola, masyarakat sulit mendapat manfaat maksimal,” ujarnya.
Di tingkat sekolah, keberadaan program ini disambut positif. Isnawangsih, Kepala Perpustakaan SMA Negeri 7 Samarinda, mengaku baru kali ini ikut serta dalam kegiatan penguatan literasi yang melibatkan Perpusnas dan pemerintah kota. Ia berharap kegiatan serupa lebih rutin agar sekolah dapat memperkuat layanan baca bagi siswa.
Bantuan 10.000 titik ini menjadi langkah besar memperluas akses literasi nasional. Namun tanpa dukungan SDM pengelola, buku-buku yang dikirim berpotensi hanya menumpuk di rak. Perpusnas menekankan, keberhasilan program sangat bergantung pada kolaborasi pemerintah desa, sekolah, dan komunitas setempat.
“Buku sudah datang, sekarang tantangannya siapa yang mengelola,” pungkas Deine.