Samarinda, natmed.id – Harga beras premium di Kalimantan Timur terus merangkak naik dan menembus batas Harga Eceran Tertinggi (HET) nasional, yang ditetapkan sebesar Rp13.900 per kilogram.
Di lapangan, harga beras jenis tersebut kini dijual hingga Rp15.400 per kilogram. Kondisi ini menambah tekanan terhadap daya beli masyarakat, terutama di tengah belum stabilnya pasokan pangan pokok dalam negeri.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM (DPPKUKM) Provinsi Kalimantan Timur, Heni Purwaningsih, menjelaskan bahwa lonjakan harga tersebut tidak bisa dilepaskan dari ketergantungan wilayahnya terhadap pasokan beras dari luar daerah serta mahalnya biaya logistik antarpulau.
Menurut dia, sebagian besar beras yang beredar di pasar Kalimantan Timur masih berasal dari luar, meskipun dikemas dengan label lokal.
“Yang disebut beras lokal itu hanya dikemas di sini, tapi bahan bakunya tetap dari luar daerah. Paling banyak dari Jawa dan Sulawesi,” ujar Heni, Kamis, 7 Agustus 2025.
Kondisi geografis Kalimantan Timur yang luas dan belum sepenuhnya terintegrasi dengan infrastruktur logistik yang memadai disebut menjadi salah satu penyebab utama mahalnya ongkos distribusi. Hal ini berdampak langsung pada harga jual beras di tingkat konsumen.
“Kalau dibandingkan dengan Jawa, biaya logistik di Kalimantan jauh lebih besar. Ini memengaruhi harga jual di tingkat konsumen, dan akhirnya membuat harga di atas HET,” lanjutnya.
Meski gejolak harga terus berlanjut, pemerintah daerah belum melakukan langkah intervensi langsung, seperti operasi pasar atau pemberian subsidi harga.
DPPKUKM Kalimantan Timur memilih menunggu kebijakan lanjutan dari pemerintah pusat, khususnya terkait dengan penyesuaian regulasi harga di wilayah yang memiliki tantangan geografis dan logistik.
“Pemerintah provinsi masih menunggu arahan pusat. Kita tidak bisa menarik secara masif produk dari pasaran, karena itu berpotensi menimbulkan kelangkaan. Yang jelas, kita sudah menyiapkan surat peringatan kepada distributor dan pedagang yang terindikasi memperdagangkan beras di luar standar,” ucap Heni.
Di sisi lain, upaya untuk meningkatkan kemandirian pangan melalui penguatan produksi lokal belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Beberapa daerah yang selama ini digadang sebagai sentra produksi beras, seperti Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, Berau, dan Kutai Timur, masih belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam provinsi.
“Ada beberapa sentra produksi, tapi belum cukup menopang permintaan pasar. Jumlahnya belum signifikan. Kalau pun ada merek yang benar-benar lokal, itu masih sangat terbatas,” jelasnya.
Masalah tidak berhenti pada persoalan harga dan pasokan saja. DPPKUKM juga menemukan sejumlah pelanggaran terhadap Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam kategori beras premium.
Dari 17 merek yang diuji kualitasnya, hanya satu merek yang dinyatakan sesuai dengan standar mutu.
“Hanya satu merek, yakni Rumah Tulip, yang lolos verifikasi. Sisanya menunjukkan ketidaksesuaian terhadap standar mutu,” ujar Heni.
Dalam waktu dekat, pemerintah provinsi akan melayangkan surat atensi kepada seluruh distributor dan pengemas yang terlibat dalam peredaran beras non-standar.
Mereka juga akan dipanggil untuk mengikuti forum evaluasi bersama Tim Terpadu Pengawas Barang Kebutuhan Pokok.
Langkah ini ditempuh bukan semata-mata untuk memberikan sanksi, melainkan untuk memperbaiki tata kelola perdagangan beras di wilayah tersebut.
“Beras ini makanan pokok kita semua. Pemerintah punya tugas untuk memastikan stok tetap aman, harganya terjangkau, dan kualitasnya sesuai standar,” tegasnya.
Selain itu, Heni juga mengimbau masyarakat agar lebih selektif dalam memilih produk beras di pasaran. Ia menekankan bahwa pemerintah daerah akan terus meningkatkan pengawasan, merilis hasil temuan secara berkala, dan mendorong edukasi terhadap pelaku usaha agar mematuhi ketentuan yang berlaku.
Isu manipulasi kemasan dan potensi praktik oplosan juga menjadi perhatian serius. Koordinasi antara pemerintah daerah, Satgas Pangan, dan Kementerian Perdagangan terus diperkuat untuk memastikan langkah pengawasan berjalan seragam dan responsif terhadap situasi di lapangan.
Dengan tekanan harga yang belum mereda, Kalimantan Timur masih berjibaku menjaga keseimbangan antara kebutuhan konsumen, kepatuhan pelaku usaha, dan keterbatasan logistik. Sementara itu, kebijakan dari pemerintah pusat dinantikan untuk menjawab tantangan distribusi pangan pokok di luar Jawa.