
Samarinda, natmed.id – Anggota DPRD Kalimantan Timur Sigit Wibowo menegaskan pentingnya kemudahan dalam pelayanan publik sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah daerah dan lembaga vertikal kepada masyarakat.
Ia menyoroti sejumlah hambatan administratif yang masih sering dihadapi warga ketika berhadapan dengan birokrasi, terutama dalam urusan perpajakan, perizinan, dan pertanahan.
Pernyataan tersebut disampaikan Sigit bertepatan dengan peringatan Hari Pajak Nasional, 14 Juli 2025.
Dalam pandangannya, hari itu seharusnya menjadi momentum refleksi bersama, agar seluruh pihak yang terlibat dalam tata kelola pelayanan publik benar-benar mendorong sistem yang inklusif, efisien, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.
“Sebagai warga negara, kita wajib bayar pajak. Tapi pemerintah juga harus mempermudah masyarakat. Sekarang sudah bisa transfer, bayar kendaraan bermotor gampang, ya harus begitu, jangan dipersulit,” kata Sigit.
Ia menggarisbawahi bahwa kemajuan teknologi informasi semestinya diikuti dengan simplifikasi dalam praktik pelayanan publik di lapangan. Namun, kenyataan yang ditemui masih jauh dari harapan.
Banyak warga yang merasa dipersulit oleh aturan-aturan administratif yang kaku, terutama dalam pengurusan pajak kendaraan bermotor yang tertunggak dan proses balik nama yang mensyaratkan kepemilikan KTP asli pemilik lama.
“Kadang-kadang KTP ada, kadang enggak. Lucu juga kalau pemerintah harus minta KTP asli. Harus ada syarat alternatif agar masyarakat tetap bisa bayar pajak,” ujarnya lagi.
Menurutnya, pendekatan pemerintah dalam hal ini masih cenderung normatif dan tidak menyesuaikan dengan dinamika sosial di masyarakat.
Padahal, kata dia, pemerintah saat ini telah memiliki infrastruktur digital yang seharusnya memungkinkan pelacakan data wajib pajak dilakukan dengan mudah, tanpa harus membebani warga dengan persyaratan yang sulit dipenuhi.
“Kalau mau tracking sekarang gampang, semua data sudah tersimpan di server. Jangan sampai pemerintah mau dapat duit tapi masyarakat dipersulit,” katanya dengan nada mengingatkan.
Politikus Partai Amanat Nasional itu juga menyinggung kendala lain yang acap kali dihadapi masyarakat, yakni tingginya biaya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam proses penyertifikatan tanah.
Menurutnya, beban biaya tersebut bisa menjadi penghalang bagi masyarakat, terutama kelompok ekonomi lemah, untuk memperoleh kepemilikan sah atas tanah yang mereka tempati.
“Ketika mau selesai sertifikat, bayar BPHTB-nya mahal, katanya bisa dinego. Kalau memang bisa dinego, ya sesuai kemampuan masyarakat. Kalau tidak, masyarakat tidak akan punya hak milik,” jelas Sigit.
Ia menganggap, upaya pemerintah pusat dalam membenahi sistem pelayanan publik harus selaras dengan langkah pemerintah daerah dan instansi vertikal.
Ketimpangan implementasi, menurutnya, akan menciptakan kesenjangan dan membuka celah bagi praktik-praktik tidak sehat seperti percaloan dan pungutan liar.
“Program pusat mempermudah, Pemda dan instansi vertikal juga harus sama-sama ikut. Jangan sampai ada titip-titipan, ujungnya tidak selesai,” tegas Sigit.
Sebagai salah satu solusi, ia mendorong masyarakat untuk lebih berani dan aktif mengurus keperluannya sendiri tanpa mengandalkan jasa perantara. Selain meningkatkan transparansi, hal itu juga dapat menekan praktik pungli yang kerap membebani rakyat kecil.
Politikus Partai Amanat Nasional itu berharap agar pemerintah daerah dan seluruh lembaga pelayanan publik benar-benar hadir sebagai penyelenggara negara yang memberi kemudahan dan kepastian bagi rakyat.
Ia mengingatkan bahwa hakikat pelayanan publik adalah melayani, bukan memperumit, serta menjadi penghubung antara kebutuhan warga dengan kewajiban negara.