Jakarta,Natmed.id-Kondisi tingginya inflasi dan suku bunga, masih menghadapi risiko ketidakpastian yang besar, bagi perekonomian dunia. Kondisi ini mulai berimbas pada kinerja ekonomi, dan sektor keuangan dunia.
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa bank besar di AS dan Eropa kolaps, yang pada akhirnya harus diambilalih oleh bank besar lainnya.
Berbagai peristiwa ini tentunya dapat berimbas pada ekonomi dunia dan menimbulkan gejolak pasar keuangan global.
Namun, dampak terhadap pasar keuangan global dapat diminimalisir berkat respons yang cepat dari otoritas keuangan di AS dan Eropa.
Hal tersebut disampaikan Andry Asmoro Ekonom Bank Mandiri, pada Gathering & Presentasi Macroeconomic Outlook dari Tim Office of Chief Economist Bank Mandiri dan Mandiri Sekuritas, secara daring, Selasa (9/5/2023).
Bicara tentang ekonomi domestik, Andry Asmoro mengatakan, dampak ekonomi global mulai berimbas pada pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB), yang hanya mencatat 2,11 persen year on year (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 3,33 persen (yoy).
Selain itu, kinerja perdagangan masih cukup baik meski mulai melambat. Net ekspor tumbuh sebesar 77,65 persen (yoy) melambat dibandingkan triwulan IV 2022 di mana net ekspor tumbuh sebesar 86,25 persen (yoy).
Dikatakan, perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,03 persen (yoy) sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan-IV 2022 yang sebesar 5,01 persen (yoy).
Tapi jika, dibandingkan dengan negara-negara emerging market besar lainnya, capaian ekonomi Indonesia terbilang cukup memuaskan.
Pada periode yang sama, ekonomi Vietnam melambat dari 5,92 persen (yoy) menjadi 3,32 persen (yoy), ekonomi Singapura melambat dari 2,1 persen (yoy) menjadi 0,1 persen (yoy).
Permintaan Domestik
Ekonomi Indonesia pada triwulan-I 2023 terutama masih ditopang oleh pulihnya permintaan domestik.
Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga tercatat mencapai 4,54 persen (yoy) pada triwulan-I, sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2022 sebesar 4,48 persen (yoy), maupun triwulan I 2022 sebesar 4,34 persen (yoy).
Pertumbuhan konsumsi pemerintah juga turut menopang ekonomi, dimana pertumbuhannya tercatat sebesar 3,99 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya yang mencatat kontraksi.
Namun, dampak ekonomi global mulai berimbas pada pertumbuhan PMTB yang hanya mencatat 2,11 persen (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 3,33 persen (yoy).
Selain itu, kinerja perdagangan masih cukup baik meski mulai melambat. Net ekspor tumbuh sebesar 77,65 persen (yoy) melambat dibandingkan triwulan IV 2022 di mana net ekspor tumbuh sebesar 86,25 perseb (yoy).
Berdasarkan sektor, sektor-sektor terkait mobilitas tumbuh sangat tinggi memanfaatkan momentum akselerasi peningkatan mobilitas dan aktivitas masyarakat.
Sektor tersebut adalah transportasi dan pergudangan yang tumbuh 15,93 persen (yoy), akomodasi dan restoran 11,55 persen (yoy), informasi & komunikasi 7,19 persen (yoy).
Sektor Industri pengolahan juga tumbuh relatif tinggi yaitu 4,43 persen (yoy). Sektor industri pengolahan adalah sektor yang sangat strategis karena menguasai 18,57 persen dari total PDB Nasional.
Tantangan ekonomi secara sektoral terkait dengan pelemahan ekonomi global yang telah menekan kinerja beberapa industri orientasi ekspor, yaitu: industri garmen, kayu lapis, dan furnitur yang volume ekspornya terkontraksi pada Maret 2023 masing-masing sebesar -22,7 persen (yoy), -37,5 persen(yoy), dan -37,1 persrn (yoy).
Melihat data yang ada, Andry Asmoro mengatakan, tantangan ekonomi yang tahun ini adalah potensi penerimaan dari sektor komoditas yang berpotensi turun. Per 8 Mei 2023.
Juga beberapa harga komoditas penting bagi Indonesia mengalami koreksi harga sebagai berikut: Harga batu bara (Newcastle) mencapai 169,7 dolar AS per ton, atau terkoreksi 58 persen YTD, CPO (FOB Malaysia) mencapai 920,4 dolar AS per ton, atau terkoreksi 2,8 persen YTD, minyak mentah (Brent) mencapai 77,0 dokar AS per barrel, atau terkoreksi 10,4 persen YTD, dan harga nikel 24.531,0 dolar AS per ton, atau terkoreksi 18,4 persen YTD. (*)